5. Purnama yang Membawa Masa Lalu

463 35 8
                                    

Oleh: Sembur Banyu

***

Tak sedikit kenangan akan suatu hal terulang di masa kini. Atau hanya sebatas dejavu. Entah menyenangkan atau malah sebaliknya, menyeramkan. Dan itu terjadi hampir di setiap orang. Setiap anak manusia. Yang hidup.

***

EPISODE 5

***

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Di mana malam mulai larut dan rembulan benar-benar menunjukkan kuasanya. Menerangi yang gelap. Seperti kehadiran kekasih yang datang setelah lama dinanti, menyinari hati yang sebelumnya gelap terhimpit rindu yang berkecamuk.

Malam ini, tepat tanggal lima belas purnama. Malam yang dianggap  keramat oleh banyak pemercaya. Di mana manfaat dan nuansa gaib serasa begitu dimanjakan oleh Tuhan seluruh semesta. Malam yang begitu dekat dengan rayuan  atau bahkan kematian jika dihubungkan dengan cerita-cerita yang entah dikembangkan dan disebarluaskan oleh siapa.

Entah kebetulan atau bagaimana, apa yang tersebarluas di kalangan masyarakat itu terjadi pula di desa ini. Ya, desa tempat kejadian ini bermula. Desa Trubus. Yang saat ini masih terlihat sama, tertawa terkikik dan menangis secara bersamaan. Yang sebelumnya terbaring disertai kejang. Kini mendadak terlihat duduk  meringkuk di pojok dinding ruang tamu.

“Ayo nduk, lawan iku sing ono di dirimu!”, teriak Bapak yang tetap berancang-ancang jika badan Trubus melakukan gerakan-gerakan yang menyita perhatian. Maklum saja, sedari tadi ia sudah terbang dan memanjat dinding ruang tamu beberapa kali. Antara mengesankan dan menakutkan. Membuat Ibu begitu terbelalak hingga pingsan untuk kali kedua.

“Trubus wes ra ono, sing ono iki aku. Estu!!!”, teriak Trubus yang sedari tadi sudah dikuasai roh yang mengaku bernama Estu. Kemudian melanjutkan tawa dan tangisnya secara bersamaan.

Pak Ustad yang sedari tadi pingsan pun pelan-pelan terbangun. Masih memikirkan cara untuk membalikkan keadaan. Bingung bercampur heran. Tak seperti biasanya. Baru kali ini ia dibuat begini. Bahkan hapalan doa dan ayat suci yang didengungkan pun seperti tiada guna. Sambil komat-kamit membaca istighfar, dalam hati ia bertanya pada dirinya. Apa sebenarnya yang salah.

“Apa aku yang terlalu takabur pada kekuatan dan doa-doa yang kukuasai? Merasa itu sudah seperti kehendak dan kekuatan Tuhan sehingga lupa bahwa kuasa Tuhan lebih tinggi? Apa maksud Tuhan kali ini dengan memunculkan kejadian seperti ini?”, ujar Pak Ustad dalam hati sambil tangannya menahan sakit di dada akibat terpental sebelumnya.

Tiba-tiba dinding ruang tamu seperti menangkap sorot lampu dari arah depan disertai dengan deru knalpot sepeda motor yang berhenti tepat di depan pintu yang masih terbuka sejak tadi.

Benar saja, laki-laki tetangga Bapak Trubus tadi datang bersama dengan sosok yang disebutkan dan dinantikan kedatangannya, Mbah Yai. Dengan mengucap salam yang terlihat tenang Mbah Yai masuk disertai tetangga tersebut. Kemudian tanpa sepatah kata langsung mengarahkan pandangan pada sosok gadis muda yang meringkuk di pojok ruang tamu.

Tanpa basa basi, Mbah Yai segera mendekati Trubus kemudian mengarahkan telunjuknya tepat di dahinya. Yang entah mengapa tak bisa dijelaskan dengan kata-kata sederhana, tubuh Trubus yang sedari tadi kejang, kaku, tiba-tiba menjadi terduduk lemas dan tak lagi berteriak. Tak ayal membuat yang hadir menjadi terbelalak melihat apa yang terjadi.

Kemudian beliau mengambil bungkusan yang berisi uyah grosok (garam kasar) lalu mengambil beberapa untuk ditaburkan tepat di ubun-ubun Trubus.

“Le, bapakne cah ayu iki. Ke sini le!”, ujar Mbah Yai segera memanggil Bapak Trubus untuk mendekat. Kemudian sambil memberikan wadah uyah grosok (garam kasar) tadi kepadanya.

SURUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang