Oleh: Sembur Banyu
***
Kesalahan masa lalu terkadang dianggap sebagai sesuatu hal yang terhubung dengan apa yang menimpa seseorang. Yang kemudian diyakini banyak orang sebagai "Karma". Padahal tak semua hal meupakan pembalasan atas sebuah kejadian sebelumnya. Namun ada pula yang terhubung hanya karena bisa jadi dianggap mampu untuk memberikan sekadar bantuan.
***
EPISODE 7
***
"Kowe iki dikandani kok angel men. Pantes nek koyo bocah cilik sing ora kenek dituturi. (Kamu itu susah bener dikasih tahu. Pantes kalau mirip anak kecil yang tidak bisa dinasehati.)", sahut Mbah Yai yang sepertinya sontak membuat mahluk itu terbelalak dan merasa dirinya telah direndahkan oleh manusia tua yang ada di depannya.
"Whuuuuussssss...!!!"
Seketika itu terlihat tangan kiri mahluk itu melayangkan cakaran tepat ke arah Mbah Yai yang sedari tadi masih tersenyum padanya.
"Awas Mbahhh......!!!", teriak bapak Trubus yang sedari tadi berada tepat di belakang Mbah Yai.
"Jraaaaasssssssssssssssssssshhhhh...!!!"
Tangan hitam legam yang besar penuh bulu dan cakar di jari mahluk yang dikenal masyarakat luas sebagai Gendruwo itu tiba-tiba terlihat menabrak batang pohon yang ada di sampingnya.
Mata bapak Trubus seketika terbelalak mau lepas melihat kejadian yang spontan ada di depannya. Terlihat jelas bagaimana Gendruwo itu berusaha menghantam tubuh Mbah Yai yang tengah membuat mahluk tersebut kesal. Namun kejadian aneh tiba-tiba terjadi di depannya.
Aneh sekali, serangan Genderuwo itu sama sekali tak mengenai Mbah Yai sedikitpun! Bahkan tangan Genderuwo itu malah terpental menuju batang pohon di sebelahnya. Sepertinya Mbah Yai benar-benar mulai terlihat serius dengan kejadian itu. Di mana kekuatannya yang selama ini tak terlihat tiba-tiba tersibak dengan jelas di depan mata Bapak Trubus.
Terlihat sesekali bibir Mbah Yai tersenyum dan melontarkan tiupan kecil tepat ke arah wajah Genderuwo itu. Tak ayal, seperti terserang hembusan angin badai yang keras, seketika itu pula Genderuwo itu terpental hebat membentur batang pohon besar di belakangnya hingga kemudian tersungkur tepat menghujam ke tanah dengan penuh erangan.
Tak cukup dengan itu. Mbah Yai masih terlihat melakukan tindakan lanjutan. Ia mengambil sebuah batu kerikil seukuran ibu jari. Kemudian memberikan tiupan tepat pada semua sisi batu itu dengan memutarnya hingga sekiranya rata oleh tiupannya. Kemudian membacakan doa lama yang sangat terkenal di kalangan orang-orang yang memahami ilmu tenaga dalam dan ilmu gaib.
"Waidzaa bathostum bathostum jabbaarin...", begitulah Mbah Yai melafalkan doa tersebut selama tiga kali berturut-turut tanpa sekalipun bernafas. Terlihat begitu fasihnya seperti sudah terbiasa ia lafalkan selama berpuluh-puluh tahun. Bahkan dengan sedikitpun tanpa bernafas.
Seketika itu pula selesai membacakan doa tersebut, Mbah Yai menjentikkan batu kerikil yang ada dijarinya tepat menuju kepala Genderuwo yang terlihat berusaha berdiri setelah jatuh tersungkur sebelumnya.
"Jedaakkkkkkkkk...!!!"
Batu kerikil tersebut tepat meluncur menuju dahi Genderuwo. Dan kemudian pun membuatnya terpental untuk kali kedua. Membuat matanya yang merah lebar semakin terbelalak seakan mau lepas. Bagaimana tidak. Batu kerikil itu tepat menancap di tengah dahinya.
Sejenak setelah itu, terlihat Mbah Yai mulai berjalan perlahan mendekati Genderuwo. Kemudian menaruh telunjuknya tepat pada batu kerikil yang menancap di dahi Genderuwo itu.
"وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ"
(wa maa kholaqtul jinna wal insya illa liya'buduun)", bibir Mbah Yai tiba-tiba mengucapkan penggalan ayat suci Al-Quran yang membuat Bapak Trubus yang masih berada di belakngnya seketika itu ingat dengan apa yang terbiasa dilakukannya setiap hari, mengaji."Kowe iki kudu iling, ngger. Iki bumine Fengeran (Allah). aja tumindhak ala. Kabeh mahluk duwe kewajiban nyembah marang Fengeran. Termasuk tumindhak becik menyang sesama. Mbuh kuwi pada menungsane apa karo mahluk liya. (Kamu ini harusnya ingat, ngger. Ini buminya Allah. Jangan berbuat yang tidak baik. Semua mahluk memiliki kewajiban menyembah Allah. Termasuk berbuat baik pada sesama. Entah itu bagi sesama manusia atau dengan mahluk lainnya)", pitutur Mbah Yai seketika meluncur deras pada sosok Genderuwo yang sedang terkapar merasakan sakitnya tersungkur untuk kali kedua.
"Apa jaluk tak peksa kowe nyingkrih saka kene? (Apa mau kupaksa kamu untuk pergi dari sini?)", Mbah Yai melontarkan sebuah pertanyaan yang kali ini terdengar dengan nada lebih tegas.
"Ampuuuunnnn Mbah.....ngapunten...!!!"
Dengan suara kerasnya yang mampu membuat bergidik yang mendengarkan, sosok Genderuwo itu seprti paham betul pada kondisinya saat ini yang mampu dibuat sekarat dalam seketika oleh Mbah Yai. Tak mungkin lagi ia menyombongkan dirinya yang kini tersungkur kesakitan tepat di atas tanah yang sedari tadi ia pijak. Ia paham bahwa Mbah Yai bisa saja melakukan tindakan yang lebih untuk memaksanya pergi, namun itu tak dilakukan Mbah Yai. Ia sadar Mbah Yai hanya memberikan pelajaran saja. Karena memang Mbah Yai selama ini terkenal sangat toleran kepada siapa saja. Bahkan mahluk gaib sekalipun.
Di belakang Mbah Yai terlihat Bapak Trubus yang masih terbelalak heran menyaksikan kejadian yang lagi-lagi masih saja mampu membuatnya tak dapat berkata, bahkan untuk bergerak sekalipun. Ia terlihat kaku seperti patung yang berada pada halaman rumah.
"Wis, ndang ngalih. Ojo kuatir. Tak sangoni dunga. Ben perjalananmu lancar. (Sudah, cepatlah bergegas pergi. Jangan khawatir. Akan kusertai dengan doa. Supaya perjalananmu lancar.)", ucap Mbah Yai kepada sosok Genderuwo tersebut.
Tak lama setelah itu, terlihat Mbah Yai mengajak Bapak Trubus untuk sekadar membacakan Surat Fatihah yang ditujukan pada sosok Genderuwo tersebut. Yang dengan perlahan kemudian didikuti sirnanya sosok Genderuwo besar itu meninggalkan mereka berdua.
"Wuuuussssshhhhh....."
Angin membawa pergi sosok tinggi besar itu menjauhi mereka berdua yang masih berada tepat di bawah bayang-bayang malam.
BERSAMBUNG
Visit
IG: semburbanyu
TikTok: semburbanyu
Youtube: semburbanyu
KAMU SEDANG MEMBACA
SURUP
HorrorSurup merupakan waktu yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai pusat waktu mobilisasi mahluk gaib.