Suatu Bencana

1K 160 28
                                    

Terkadang orang-orang menciptakan ilusi untuk bahagia

.

.

.

Beberapa hari sebelum pernikahan

Jaejoong membungkuk dalam pada atasan di agensinya sebelum meninggalkan ruangan. Helaan napas lagi-lagi mengalun diantara bibir tanpa bisa dicegah. Jaejoong baru saja membuat surat yang akan disampaikan kepada para penggemarnya atas pernikahannya ini. Tentu Jaejoong menginginkan hubungan yang terbuka dengan mereka, dan status pernikahan yang berasal dari rasa saling menghargai sekaligus mempercayai.

Sepuluh tahun karirnya sebagai seorang selebritis, Jaejoong patut bersyukur mendapatkan banyak penggemar yang mendukung baik kehidupan pribadi bahkan langkahnya di industri hiburan. Tidak satupun dari mereka yang ingin mengecewakannya, begitupun Jaejoong. Hidup yang bersinggungan satu sama lain dengan hubungan yang baik tidak akan pernah Jaejoong rusak, karena bagi Jaejoong mereka -penggemar- bukanlah orang lain lagi.

Meski tidak banyak lagi media yang mengusiknya, namun masih saja ada yang menguntitnya hingga kini. Sekali lagi Jaejoong beruntung karena tidak satupun dari media berhasil mengetahui sosok yang akan menjadi istrinya, Kwon Minha memang terkenal dari kalangan tertentu namun tidak cukup baik untuk menjadi konsumsi publik.

Tidak lagi memiliki kegiatan lain ketika mobilnya mengarah untuk kembali pada kediamannya. Jaejoong kehilangan minat untuk mencari hiburan dan lebih ingin beristirahat sekaligus menenangkan diri.

Lagu yang mengalun tidak lagi dapat menyentuh hatinya, meski melodi yang begitu indah dengan lirik yang membangun semangat setiap pendengarnya. Hari-hari Jaejoong jauh lebih hampa dari kesehariannya sebagai seorang idol, rasanya seperti ada kekosongan yang sulit sekali dipenuhi.

Mobil itu terhenti dan terparkir dengan baik ketika manik bulat Jaejoong menangkap sosok Minha yang tengah menunggu di dekat lift. Wajah yang sebelumnya menunduk sebagai pelampiasan kejenuhan sontak terangkat untuk menyapa Jaejoong.

Tidak lagi menunggu lama dimana kaki Jaejoong telah meninggalkan mobil, "Minha-ya," Jaejoong cukup kebingungan dalam memilihkan ungkapan basa-basi.

Jika Jaejoong bertanya apa yang Minha lakukan, apakah itu pantas bagi Jaejoong untuk melarang calon istrinya sendiri berkunjung? Lalu jika Jaejoong bertanya tentang kesepakatan mereka untuk tidak bertemu hingga pemberkatan, maka Jaejoong akan dipandang sebagai pria yang berkosa-kata kasar.

Minha terlihat canggung namun juga tidak ingin keadaan keduanya semakin buruk mengingat penikahan mereka yang akan berlangsung, "Aku hanya ingin berkunjung... maafkan aku yang malah mengusirmu kemarin, juga tidak memahami keadaanmu." menunjuk sebuah bingkisan yang dibawa "Aku telah membuatkanmu makan siang, kita bisa menikmatinya di dalam."

Jaejoong tersenyum, bertingkah sebagai pria yang bahagia karena memiliki pasangan yang perhatian "Kalau begitu tidak perlu menunggu lagi, berapa lama kau di sana?" ujarnya setelah mereka berada di lift.

"Aku baru tiba, lagipula aku juga tidak sengaja mampir sepulang dari butik."

Jaejoong tahu jika Minha berbohong, kediamannya dengan butik milik Minha bertolak belakang, bahkan tempat tinggal wanita itu lebih dekat dengan butik, "Kau pasti sangat lelah mengemudi."

"Yeah, mungkin setelah ini aku harus mempekerjakan seorang supir."

"Akan ada aku yang selalu bersedia melakukannya nanti." Jaejoong merasa biasa saja dengan kalimat itu, ketika Minha mengartikannya lain bahkan pipi Minha telah mengeluarkan semburat manis.

Keduanya tiba di penthouse Jaejoong dan Minha tidak berniat bersikap sungkan di rumah sang calon pasangan. Melangkah masuk untuk mendatangi dapur ketika Jaejoong bertolak ke kamar. Dengan semangat yang menggebu, Minha menyiapkan makan siang mereka. Minha sempat membuatkan beberapa masakan sederhana tadi, meski harus membuang waktu untuk kembali ke rumah lebih dulu sebelum pergi ke tempat Jaejoong.

Painful LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang