23.Hubungan Tanpa Akhir

4.9K 758 76
                                    

"Memperbaiki sesuatu tak pernah semudah kelihatannya."

***************

Samudra sudah diperbolehkan pulang hari ini dan dianjurkan melakukan konsultasi sebelum keluar dari rumah sakit. Jadi disinilah ia sekarang, berada di hadapan dokter Septian, sementara Angkasa menerima panggilan dari seseorang di luar ruangan.

Dokter laki laki itu tersenyum penuh arti sembari menatap lekat ke arah Samudra yang hanya diam.

"Dokter udah ngomong semua ini sama kamu kan? Obat nggak akan pernah nyembuhin kamu Samudra. Ngomongin masalah yang kamu punya, itu adalah solusi yang paling baik."

Samudra mengangkat wajahnya guna menatap netra sang dokter baik hati.

"Mudra nggak punya masalah dok. Cuman, Ayah sama Bunda pisah. Itu aja."

Septian menggeleng dengan pasti. "Samudra, kamu yakin mau bohong sama dokter?"

Benar, Septian adalah seorang psikiatri. Berbohong kepadanya adalah hal yang sia-sia, Samudra yakin laki laki itu sudah mengetahui semua tekanan yang ia alami hanya dengan saling bertatap.

"Dokter harap kamu bisa sedikit lebih terbuka, sama kakak kamu, sama temen kamu. Atau kalau kamu mau, bisa sama Dokter juga."

Sementara itu Angkasa mengetukan kakinya dengan gelisah, yang menghubunginya adalah Pak Dimas. Guru kedisiplinan di sekolah Samudra. Tentu saja mereka akan membicarakan sidang kedisiplinan bagi adiknya itu mengenai insiden pemukulan Cakra beberapa hari yang lalu.

"Tanggal sidangnya sudah ditentukan Angkasa, hari Kamis tanggal 14 Mei. Samudra bisa di dampingi oleh orang tua."

Angkasa menghela nafas panjang kemudian mengangguk sebagai bentuk refleks meskipun Pak Dimas tak bisa melihatnya.

"Baik pak, terimakasih."

Sambungan terputus, Angkasa menghela nafas panjang. Ia tak yakin bisa membujuk Samudra untuk datang ke sekolah, ia juga tak ingin membujuk anak itu. Ia takut ini akan membebani Samudra, tapi bukankah tak ada pilihan?

Angkasa mendorong pintu ruangan Septian dengan perlahan dan mendapati adiknya itu sudah berdiri dari duduknya.

"Angkasa, konsultasi hari ini selesai. 3 hari lagi adeknya di ajak kesini ya."

Angkasa mengangguk sekali kemudian menjabat tangan Septian dengan sopan. "Terimakasih ya dok."

Angkasa meraih jemari Samudra dan menggenggam tangan anak itu erat, keduanya menelusuri koridor rumah sakit dalam diam. Tak ada yang berniat berucap, Samudra memang menjadi lebih pendiam akhir-akhir ini. Sementara Angkasa tengah menimbang bagaimana cara untuk mengatakan tentang sidang itu pada Angkasa.

Bahkan sampai keduanya sampai di Apartement Samudra tetap diam. Hanya melepas sepatunya dan langsung mendudukkan diri di sofa depan ruang keluarga.

Angkasa melepaskan jaket yang dipakainya lalu melangkah menuju dapur. "Lo mau makan apa Dra?"

Samudra mengubah posisinya menjadi berbaring, kemudian menggeleng pelan. "Belum laper Sa."

Samudra Sang Angkasa [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang