28.Biru yang Hilang

6.4K 789 198
                                    

"Ketika sebuah genggaman tak lagi bisa mempertahankan, haruskah kita menyerah akan keadaan? Membiarkan yang harusnya pergi, dan belajar untuk merelakan."

******************

Koma, satu kata dengan sejuta mimpi buruk yang mengikuti di belakangnya. Angkasa sudah lelah menangis, tapi air matanya bahkan tak berniat berhenti untuk jatuh.

Sampai kapan ia harus melihat Samudra seperti ini? Tenggelam dalam diam dan bisa pergi kapan saja tanpa ia bisa cegah.

Pintu ruang rawat Samudra terbuka dengan Jovan dan Juan sebagai pelakunya. Kedua laki-laki itu mendekat ke arah bankar. Jovan terlihat menghentikan langkahnya sesaat, seakan benar benar tak mempercayai apa yang kedua matanya lihat sekarang.

Sementara Juan, ia langsung menepuk bahu Angkasa yang tak mengalihkan pandangan dari wajah Samudra barang satu detik pun.

"Lo udah makan?" Angkasa hanya menggeleng pelan sembari menempelkan punggung tangan Samudra pada pipi tirusnya.

"Ikut gue cari makan dulu. Biar Jovan yang jagain Mudra disini."

Angkasa hanya menggeleng, terlalu berat untuk melepaskan tangan dingin adiknya itu barang satu detik saja. Karena ia tak pernah tau kapan adiknya terbangun atau pergi tanpa kata pamit seperti yang ia takutkan.

"Jun, kalau lo nya sakit. Siapa yang mau jagain Mudra? Lo percaya sama Jovan kan?"

Netra si sulung itu beralih pada Jovan yang berdiri kaku dengan air mata menggenang di balik pelupuknya. Angkasa mengangguk dengan lambat, ia mempercayai Jovan. Sangat.

Samudra tak pernah menolak berbicara pada Jovan seburuk apapun keadaan yang ia hadapi sebelumnya. Akankah Jovan bisa membawa Samudra kembali dari awal mimpi panjangnya?

"Lo bisa ajak ngomong Mudra kan, Jov?" si jangkung itu mengangguk.

"Gue tinggal bentar." Angkasa keluar dari ruangan terlebih dahulu, diikuti oleh Juan yang melangkah beberapa meter di hadapannya.

Bukan kantin yang menjadi tujuan Angkasa, melainkan rooftop rumah sakit. Tubuhnya di bwa untuk duduk di atas lantai yang tampak bedebu dengan Juan duduk di dekatnya.

"Kenapa lo kesini? Gue nyruh lo. Makan Sa." Angkasa tertawa pelan.

"Gue lagi capek Ju, bisa jangan omelin gue?" Juan kembali menahan kata katanya yang hendak keluar.

Netra itu menatap pahatan sempurna wajah Angkasa yang tampak berantakan. Hanya ada angin musim penghujan yang berhembus dingin disana.

Kalau bicara tentang rooftop, Angkasa tak bisa menahan dirinya untuk kembali mengingat hari itu. Hari dimana ia menemukan Samudra dalam keadaan yang jauh dari kata baik baik saja.

Tubuh Angkasa bergetar seiring dengan isak tangis yang kembali ke luar. Juan benar benar tertegun, ya ini pertama kalinya ia melihat Angkasa begitu rapuh. Tak ada pancaran harapan di kedua tatapnya, hanya ada kelam yang terasa semakin mencekam.

"Gue nggak pernah bayangin kalau Mudra harus ada di posisi ini sebelum gue." Angkasa bergumam lirih dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Samudra Sang Angkasa [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang