25.Moonchild

4.8K 751 74
                                    

"Moonchild, Anak yang terlahir dari rasa bersalah dan juga penyesalan"

****************

Langkah kaki pendek Samudra hanya terus berjalan tanpa tau arah dan juga tujuan. Sang Mentari sudah beristirahat sejak 2 jam yang lalu, menyisakan sang rembulan bersinar sendirian mencoba menghangatkan bumi yang terasa begitu dingin.

Jovan melangkah beberapa meter di belakangnya, terlalu takut untuk sekedar memanggil nama Samudra. Anak itu terlihat lebih hancur dari yang ia ingat, punggungnya tampak begitu rapuh dari yang ia ketahui. Samudra, Jovan benar benar merasa khawatir dibuatnya.

Semenjak kejadian tadi siang, tak ada lagi suara Samudra yang terdengar. Tak ada lagi tangisan, hanya ada diam. Diam yang berkali kali lipat jauh lebih menyeramkan daripada amarah sekalipun.

Kepala Samudra mendongak menatap ke arah Angkasa yang tampak sedikit terang karena bulan Purnama. Jovan mengikutinya, menatap ke arah langit kemudian tersenyum.

Jadi suasana seperti ini masih bisa mendinginkan hati Samudra.

Sejujurnya Jovan sedikit terkejut kala mendapati mereka sudah berada di depan gedung Apartemen Samudra. Rupanya anak itu memilih melalui jalan memutar, sedikit mengulur waktu untuk sampai dirumah.

Sosoknua berbalik kemudian tersenyum pada Jovan. "Balik gih."

"Gue temenin aja ya sampai Bang Angkasa pulang."

"Aksa udah di rumah, lo balik aja." sebuah kebohongan, ia bahkan tak tau apakah Angkasa sudah pulang atau masih sibuk dengan urusannya di luar sana.

Jovan tak sempat mengucapkan selamat malam karena Samudra lebih dulu beranjak. Si bungsu itu menggunakan lift untuk sampai pada apartemennya, dan sedikit mengernyit kala mendapati sebuah paper bag disana.

Samudra meletakkannya di atas meja makan, sementara dirinya kembali berbaring di atas sofa panjang ruang keluarga. Ia tau, mungkin itu dari Arini untuk Angkasa.

Netra bocah itu terpejam untuk beberapa saat, bersamaan dengan bibirnya yang tiba tiba membentuk sebuah senyuman. Pukulan dari Ayah dan neneknya hari ini terasa seperti sebuah lelucon untuknya.

Ia tau tak seharusnya ia tertawa, tapi rasa sakit itu benar benar menggelitik hatinya. Lucu sekali bukan, bagaimana mungkin sesorang bisa hidup sebagai anak yang dibenci hampir oleh semua orang.

Samudra tak tau, mungkin ia tertidur. Yang pasti saat ia bangun waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Bersamaan dengan pintu yang terbuka dengan Angkasa sebagai pelakunya.

Sang kakak tampak sedikit lelah, dengan tangan kanan penuh buku dan tangan kiri di penuhi kantung berisi makanan instan.

Angkasa sedikit mengernyit mendapati paper bag di atas meja makan.

"Siapa yang ngasih Dra?" tanya nya pada Samudra yang masih mengumpulkan kesadaran.

"Bunda mungkin, bukannya kemaren dia ngasih ke lo."

Angkasa sedikit terkejut. "Tau darimana?"

"Rasanya." Samudra bangkit kemudian bergerak masuk ke dalam kamarnya tanpa mengatakan apapun.

Samudra Sang Angkasa [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang