19. Free

192 31 4
                                    





Gue melipat bibir, merasa hari ini sudah kalah telak.

Perih banget man, ngeliat Irin sama Adit mesra banget bahas anggaran bazar depan bangku semen Ipa 2. Saingan sama temen sendiri emang berat banget, gue bahkan cuma mendem di kelas ikut koplo bareng Jay sama Udin karena males banget liat tuh orang dua.

Gue melangkah lesuh, berjalan menuju parkiran buat ambil motor terus pulang, mau lanjut ambyar lagi di kamar.

Gue memejamkan mata saat sinar jingga matahari sore menyengat mata, kaki gue mulai berjalan cepat merasa harus sampai di parkiran segera.

Gue menuruni tiga anak tangga kecil, menyelipkan rambut ke telinga kemudian melirik sana-sini, mencari motif motor gue diantara sisa-sisa motor yang masih berbaris rapih di parkiran.

Dan dari beberapa arah mata gue berkelana, gue berhenti pada satu titik, memandangi sosok kalem itu duduk di atas motornya sambil merunduk memainkan hape.

Gantengnya emang gak nanggung-nanggung, bikin semua orang gak tahan buat cuekin wajah rupawan itu terutama gue.

Aditia Bramansa.

Gue diem-diem memperhatikan inchi demi inchi wajah Adit dari jauh, kangen banget rasanya, tapi gue gak punya kekuatan buat berdiri di depannya sambil ngomong i love you lagi, kali ini gue menegaskan diri untuk tidak kembali mendekat berusaha untuk berhenti dari nasib pdkt yang makin abu-abu.

"Mau diliatin doang, gak mau cium?"

Gue menegakkan diri, meneguk ludah samar berusaha untuk gak keliatan salah tingkah, dan kasih senyum canggung sebisa mungkin.

Harusnya gue heboh teriak-teriak pas Adit ngomong kayak gitu, udah makin berani aja tuh cowok.

Tapi kaki gue malah melangkah menjauh, muka gue keruh seolah gak dapet aliran semangat lagi.


"Yura."





Plis, jangan ambyar cuma gara-gara pertama kalinya Adit manggil nama gue, pake suara se-adem itu. Gue menarik nafas, sudah menekan ego untuk gak jadi heboh di depannya, gue berbalik masih senyum awkward.

Adit mendekat ke tempat gue, menyisakan dua langkah sebelum benar-benar rapat ke badan gue, cowok itu menunduk menatap wajah gue tepat, dia membasahkan bibir memandang gue dengan tatapan mautnya.

"Lo marah?" tanyanya, suara yang penuh serat-serat lembut bikin gue terlena dan berhenti refleks mengumpat.

Gue memainkan tali tas, membalas tatapan Adit dengan kikuk, dan cuma menggigit bibir dalam gak ngerti harus jawab apa.

Gengsi gue masih tinggi.

"Gue pulang yaa..." pamit gue, air muka gue yang kusut jadi pertanda bahwa sebenernya gue berat banget buat pulang duluan dan lewatin kesempatan emas buat kangen-kangenan sama Adit.


"Gue laper." ucapan dia selanjutnya bikin gue mengurungkan diri untuk ambil langkah kabur.


Urusannya sama gue apa, Dit? Kalo ngomong sama gue nyambungan dikit dong, Dit, gue rada bego kalo harus nebak-nebak.





"Mau temenin gue makan?" gue membeku di tempat. "Gue yang traktir."






Gue memejamkan mata, sudah menegaskan dalam hati.

Kali ini aja, gue membuang ego dan memilih memberikan satu kesempatan ke diri gue sendiri untuk mulai dari awal.

Bukan karena gue tertarik sama traktiran yang dijanjikan Adit.

Karena sejatinya gue cuma kangen.

Dan pilih gak jadi bego untuk yang kedua kalinya.

Adit menggaruk kepalanya, garis wajahnya menurun seperti sudah punya jawaban atas diamnya gue.



"Lo masih ngambek?" tanyanya, suaranya kali ini agak mendesak.

Gue masih jet-lag, dan gak sempet buat denger kata-kata Adit barusan.






"Karena lo masih ngambek, hari ini lo dapet free gandengan tangan sama gue."





Gue cuma melongo, dan ikut saja saat Adit menarik tangan gue pelan, mengajaknya untuk ikut satu jok lagi di motornya.










Look at Me (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang