8. Gue Jelek Ya?

193 33 2
                                    











Gue langsung membuka mata, udah menduga kalo tadi gue barusan pingsan, jadi gini rasanya pingsan, seumur hidup baru pertama kalinya gue ngerasain ini.

Gue duduk, merasakan dahi yang perih dan panas, gue mengangkat tangan, meraba-raba dahi pelan-pelan kemudian jadi melotot.

Anjir, benjol. Astaga, gak kebayang lagi bentukan muka gue sekarang, dengan panik gue berlari ke arah cermin, melihat dahi gue dengan muka mengeruh.


"Lo udah bangun?"








"HUUUAAANJING!!!!"







Gue terjengkit kaget melihat Adit yang tiba-tiba nongol, kemudian jadi panik dan berusaha untuk menutupi benjol di dahi. Gue gak mau dia jadi ilfeel ngeliat muka gue.

Adit melihat gue dengan muka kalem andalannya, pandangan gue jatuh ketangannya yang bawa baskom kecil es batu, plastik es, sama satu kain. Gue mengangkat alis.


"Ngapain lo? Bikin cendol?" tanya gue membuat dia mengalihkan matanya dari tangan gue.


"Lucu lo." anjir, sinis banget.





Gue jadi duduk di sisi kasur, melihat Adit sibuk dengan bawaannya di atas nakas, pandangan gue jatuh ke wajahnya. Ngeliat mulutnya yang menganga sedikit bikin gue jadi menerka sendiri, kalo gue cium bakal semenakjubkan apa coba?





Agak lama Adit sibuk dengan es batu dan kainnya, sampai mata cowok itu menoleh ke gue, bikin gue jadi panik menatap kesembarang arah, supaya gak ketahuan kalau diem-diem ngayal babu.



Adit menarik satu bangku, duduk di atasnya dengan lutut kami yang saling bersinggungan, melihat dia dengan posisi nyaris gak pernah gue bayangi sebelumnya, membuat dada gue berdebar ambyar. Mulut gue bahkan gatal untuk nggak nyengir.


Adit mengambil es yang sudah dibalut kain itu, dia mengangkat tangan namun gerakannya berhenti seketika, Adit menghela nafas.


"Coba minggirin tangan lo, biar gue kompres."

"Gak mau, gue lagi benjolan, ntar lo ilfeel lagi." gue tetap kekeuh mempertahankan tangan gue di atas dahi.


Gue tau dia gedek banget, mukanya udah keras seolah pengen mengamuk, tapi berikutnya Adit melunak, dia menyentuh tangan-tangan kecil gue lalu menurunkannya.

"Gue udah liat tadi."

Gue merengek dalam hati, mengerucutkan bibir tanpa sadar, kemudian tertegun saat mendongakkan kepala.

Wajah Adit nyaris satu jengkal dari muka gue, dia pelan-pelan mengompres dahi gue dengan bola mata yang mondar-mandir, buat gue sumringah tiba-tiba. Adit itu emang moodboster banget.





"Dit."











"Hn."







"Gue keliatan jelek gak sih sekarang?"




Gue melihat muka Adit tetap pada ekspresi yang sama, lempeng, seolah pertanyaan gue ini bukan pertanyaan yang penting.

Emang gak penting sih, kayak gue dihidup Adit, anjay sad bos.








"Nggak."



Gue melihat mata cowok itu, mengorek kejujuran di sana, dan jawabannya tetap sama, Adit gak pernah bohong.

"Yang bener?" tanya gue memastikan.

"Bener." suaranya agak meninggi, seolah meyakinkan gue.

"Tapi lo masih gak suka gue." jeda sebentar. "Walau gue se-cantik apapun."







Gerakan tangan Adit berhenti, jantung gue udah mulai berdetak kesetanan, mata gue bahkan gak pernah berkedip sedikitpun, seolah sudah siap menerima jawaban pasti dari cowok itu.







"Ada yang sakit lagi gak?" cowok itu mengalihkan pembahasan.









Gue menunduk, hati gue mendadak soft banget hari ini gampang banget terbawa perasaan, apa ini perasaan masyarakat cewek yang tertolak? Perih banget, man.

Rasanya anjir banget, campur aduk, tinggal di anjingin bentar juga ambyar.



"Gue keluar bentar ya, ngisi absen UKS." pamit Adit, suaranya kalem tapi cukup bikin gue lemes sampai ambyar.


Gue masih duduk menunduk di sisi kasur. Masih mencoba untuk memperbaiki pecahan hati yang patah.

Anjay, indie.

Look at Me (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang