Kasur itu bergoyang hebat kala seorang gadis menghempaskan tubuhnya kepermukaan benda empuk itu. Ya, dia adalah Glendisia Aghata.
Glendis memejamkan matanya, mencoba berdamai dengan suasana. Suara isak tangis Bunda unda masih terdengar sayup-sayup hingga ke kamar gadis itu.
Glendis menghirup napas dalam lantas menghembuskannya perlahan, berharap angin yang keluar dari mulutnya bisa membawa pergi segala masalah dan kesedihan yang menggelayut di langit-langit rumah itu, pun di langit-langit hatinya.
Namun, nyatanya suara isak tangis Bunda masih tetap sama menandakan masalah itu tak pergi jua.
Ketika Glendis membuka pintu rumah_pulang dari kampus, gadis itu sudah mendapati Ayah dan Bunda bersitegang di ruang tamu. Entah apa pasalnya, gadis itu memilih untuk tidak peduli_bergegas menuju kamar. Walau nyatanya hatinya tetap memberontak ingin mendamaikan dua orang yang merawatnya sejak dia belum melihat kejamnya dunia ini. Tapi jika dipikir-pikir buat apa? Malahan jika dia nekat menjadi pahlawan penenang, yang akan dia dapatkan bukanlah kedamaian, melainkan teriakan dan tendangan, yang tidak hanya melukai raga tapi juga melukai jiwa. Jadi, gadis itu lebih memilih untuk tidak peduli.
Glendis bangkit dari posisi tidurannya. Memijit pelipis kala sakit itu semakin menjadi-jadi. Ayolah, dia hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari rasa sakit yang dirasakan manusia pada umumnya.
Gadis itu berjalan menuju meja belajarnya lantas duduk dikursi yang berada di depan meja itu. Belum ada tugas kuliah. Tadi di kelas hanya perkenalan mengingat hari ini adalah hari pertama kuliah.
Sebenarnya walaupun ada tugas Glendis tidak ambil peduli. Dia yang sekarang bukanlah gadis yang rajin dan berprestasi. Itu sudah tertinggal jauh beberapa tahun lalu_kala dia SD.
Glendis yang sekarang termasuk dalam kategori pelajar yang tak terlihat. Tidak! Dia tidak bodoh, dia lebih sering mendapat peringkat pertengahan. Sebenarnya dia bisa saja mendapat peringkat bagus jika dia tekun dan rajin, lagi pula daya ingat dan daya tangkap gadis itu terbilang kuat.
Hanya saja dia terlalu tidak peduli dengan lingkungan bahkan kehidupannya saat ini.
Seperti kata pepatah hidup segan, mati tak mau. Begitulah yang dia rasakan saat ini.Walaupun begitu, Glendis tidak akan main-main jika ada yang mengganggu ketenangan dan kenyamanannya. Jadi, jangan coba-coba untuk mencari masalah dengannya.
Karena masalah itu pula lah yang menyebabkan Ayah atau pun Bunda bolak-balik ke sekolah Glendis kala dia SMA dulu.
Glendis membelokkan pandangannya ke arah lemari kaca di samping meja belajarnya.
Lemari itu adalah tempat meletakkan segala penghargaan yang dia dapatkan di waktu kecil dulu, juga tempat foto2 masa kecilnya.
Tangan Glendis meraih pintu lemari kaca itu, membukanya dan mengeluarkan salah satu foto dari tempatnya.
Itu adalah foto Glendis ketika berusia 10 tahun. Kala itu Glendis pergi ke taman bersama Ayah. Hanya berdua, selalu seperti itu. Dulu Ayah sayang Glendis, tapi sekarang entahlah.
Glendis menatap nanar figura yang tergenggam erat ditangannya. Gadis itu tersenyum kecut.
Lihatlah! Senyuman gadis di dalam foto itu benar-benar manis dan tulus. Senyuman yang dulu selalu dia berikan kepada siapa saja. Dan senyuman yang kini benar-benar hilang dari kehidupannya.
Yang tersisa sekarang hanyalah senyuman palsu, senyuman untuk membalas segala kepalsuan yang dia terima dari setiap orang dikehidupannya.
Satu tetes air mata Glendis terjatuh membasai figura itu.
Lihatlah! Dia yang dulunya berprestasi berubah 180 derajat menjadi sosok gadis yang tak memiliki apa-apa untuk dibanggakan.
Dia yang dulunya selalu ceria berubah menjadi gadis pendiam, tak terlihat dan dingin bagaikan es yang mampu menusuk jantung hanya dengan tatapannya.
Dia yang dulunya selalu disanjung dan dipuji berubah menjadi gadis yang dijauhi.
Dia yang dulunya memiliki banyak teman, sekarang mereka satu persatu telah meninggalkannya.
Senyum manis dengan lesung pipi itu berubah menjadi senyum yang menyeramkan.Masalah dalam hidupnya telah membuat dia berubah menjadi sosok yang berbeda.
Gadis itu tergugu sambil menggenggam erat figura ditangannya.
Senyuman difoto itu mengiris hatinya. Lihatlah! Betapa teganya dia merubah senyum itu menjadi hambar dan tak berwarna. Melepaskan segala prestasi yang bersusah-payah dia dapatkan hanya karena masalah yang mungkin berniat mendewasakan diri dengan melukai dan menyakiti. Namun, tetap saja batinnya tertekan. Hatinya tidak sekuat tenaganya.
Tangis itu mendadak berhenti kala gadis itu mendengar suara dibelakangnya. Suara yang persis sama seperti tadi malam.
Suara apa itu? Glendis masih diposisinya. Gadis itu teringat akan bayangan tadi malam, bayangan yang membuatnya ketakutan sepanjang malam.
Oh ayolah Glendis, itu hanya halusinasi, mungkin lo terlalu lelah hari ini. Batinnya memberikan kekuatan. Figura foto masa kecilnya sudah tergeletak tak berdaya di atas meja belajar. Pikirannya sudah berubah haluan dari penyesalan menuju ketakutan akan bayangan yang dia lihat tadi malam. Bahkan, Glendis sudah tidak peduli akan pipinya yang masih basah oleh air mata.
Oke Glendis, sekarang lo cuma perlu berbalik dan memastikan bahwa lo cuma salah dengar. Ya ampun, sekarang udah zaman modern mana ada yang kayak gituan. Batinnya masih memberikan semangat walau tangan dan kaki sudah gemetar.
Oke, dia harus menguatkan hati. Glendis menghirup napas dalam lantas menghembuskannya.
Tidak akan sulit, hanya berbalik dan memastikan. Glendis mengangguk dan berusaha menggerakkan kaki dan badannya. Namun, nyatanya tidak sesenti pun anggota tubuhnya berpindah.
Ayolah Glendis! Lo kok jadi lemah gini sih. Gadis itu masih merutuki kebodohan dirinya. Bagaimana mungkin seorang yang mampu mengalahkan musuh dalam sekali hantaman berubah menjadi jely disaat seperti ini. Tapi tentu saja, sekali lagi Glendis katakan bahwa dia benar-benar tidak suka dengan hal-hal yang berbau mistis.
Suara itu terdengar lagi dan semakin, dekat? Badan Glendis menegang. Detak jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Sepertinya ini bukan halusinasi. Apakah malaikat maut sudah menjemputnya? Atau, ada sosok lain yang mendatanginya?
Baiklah, sekarang Glendis harus benar-benar berbalik. Bulu kuduknya sudah berdiri sejak tadi. Namun, dia harus memastikannya.
Sekali lagi Glendis mencoba menguatkan hatinya.
Ayolah Glendis! Tidak akan terjadi apa-apa, semua pasti baik-baik aja kok. Lagian lo tinggal dikamar ini udah lebih dari setengah umur lo. Gadis itu tak henti-hentinya menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya_menetralkan rasa takut. Suara Bunda sudah menghilang ditelan kesunyian.
Oke Glendis. Sekarang waktunya. Satu, dua, tiga! Gadis itu berbalik menghadap kesumber suara.
Tiba-tiba tenggorokannya tercekat, badannya bertambah gemetar, dan matanya sudah membulat sempurna.
Lihatlah! Di hadapannya berdiri gadis kecil yang kira-kira berusia 10 tahun. Kulitnya tidak pucat menandakan dia bukanlah hantu. Senyuman dan tatapan itu persis seperti senyuman dan tatapan di dalam foto yang tadi.
"Lo... Lo siapa? " wajah itu adalah wajah kecilnya. Badan Glendis bergetar hebat. Ambruk, kaki gadis itu tidak kuat menopang badan yang melemah ketakutan. Sementara yang ditanya hanya tersenyum manis menampakkan lesung pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possible
Mystery / ThrillerPlagiat dimohon untuk minggat. Dilarang mendarat, mendekat, apalagi merapat👊 Saat ketidakmungkinan berada di depan mata. SANGGUPKAH? Bagaimana jika dirimu dimasa kecil dulu datang menemuimu saat ini?, memaksamu untuk keluar dari kubangan lumpur...