Menuju Akhir

33 3 1
                                    

"Yang aku khawatirkan adalah Glendis. Apa dia bakal bisa ngerti?" Ayah membuka suara.

Apa maksudnya? Glendis membatin. Tidak paham apa yang dikatakan Ayah. Kenapa nama Glendis dibawa-bawa?

"Nanti biar aku yang ngomong sama Glendis. Dia pasti bisa ngerti, kok" Bunda meyakinkan.

Glendis menatap ke arah luar kafe. Seseorang yang Glendis kenal tiba-tiba memasuki kafe. Berjalan ke arah meja tempat Ayah, Bunda dan tante Vania berada. Ya, dia Rayhan.

"Aku kecil! Dia ngapain ke sini?" Glendis menggoyang badan bocah di sampingnya. Bocah itu sudah terlelap.

Menyikut tangan Glendis yang menggoyang badannya, merasa terganggu.

"Kenapa, sih? Aku pengen tidur." gerutu gadis kecil itu menatap Glendis. Merubah posisinya yang tadinya melipat tangan di meja sambil menidurinya menjadi duduk, menatap Glendis dengan tatapan kesal.

"Coba kamu lihat! Ngapain Rayhan gabung ke tempat Ayah dan Bunda? Bukannya Bunda ngelarang aku buat  temenan sama dia?" Glendis menatap ke arah mereka dengan tatapan tajam, juga memasang pendengar yang begitu tajam pula.

"Coba kamu perhatiin aja, nanti juga bakal tahu sendiri, kok" gadis kecil itu menatap malas ke arah Glendis.

Sejak kapan  gadis di sampingnya ini berubah menjadi seseorang yang begitu cerewet dan penuh rasa ingin tahu dengan urusan orang lain atau lebih dikenal dengan sebutan 'kepo'.

Tapi wajar saja, ini menyangkut keluarganya, apalagi karena gadis itu tahu namanya dibawa-bawa dalam perbincangan mereka.

Gadis kecil yang wajahnya serupa dengan Glendis ketika kecil itu kembali menguap. Lantas melipat kembali tangannya dimeja dan menidurinya, meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan itu.

Glendis menatap kesal ke arah bocah itu. Bagaimana bisa dia terlelap dalam situasi seperti ini? Dasar bocah! Tahunya cuma makan, minum dan tidur. Glendis memutar bola matanya, kesal sendiri melihat tingkah bocah itu.

"Hai, Ma, Pak, tante." Rayhan menyalami ketiga orang itu lantas duduk di samping tante Vania.

Siapa yang dia panggil 'Papa'? Glendis mengerutkan keningnya.

Jangan bilang kalau itu Ayah! Glendis menutup mulutnya tak percaya.

Bagaimana bisa? Apa Ayah bakalan nikah sama tante Vania? Karena itu Rayhan memanggil Ayah dengan sebutan' Papa'?  Papa tiri maksudnya? Glendis asik menebah-nebak sesuatu yang dia dengar itu.

"Rayhan, kamu harus baik-baik sama Glendis. Kalian 'kan saudara. Ingat ya, Nak" Ayah tersenyum tulus ke arah Rayhan. Sementara tante Vania mengusap rambut itu perlahan, penuh dengan kasih sayang.

"Ya udah, aku setuju kalo Rayhan bakal tinggal di rumah. Asalkan dia harus bisa bergaul dengan Glendis dan Maysia" Bunda tersenyum tipis ke arah laki-laki sepantaran Glendis itu.

Rayhan mengangguk sopan. "Okey, Ma. Rayhan pasti bisa bergaul dengan baik kok sama Glendis dan Meysia juga, Mama gak usah khawatir. Lagian aku sama Glendis 'kan satu kelas. Nanti bisa ngerjain tugas bareng" Rayhan tersenyum ke arah Bunda, meyakinkan perempuan paruh baya itu.

Glendis bergidik ngeri. Dia bakal serumah sama Rayhan? Ayolah, jangan bercanda!
Apalagi membayangkan dia bakal ketemu Rayhan setiap hari. Mengerjakan tugas bersama. Astaga, membayangkannya saja membuat Glendis mual.

"Terima kasih Van, udah jagain Rayhan selama ini. Mas berhutang Budi sama kamu. Mas tidak becus menjadi seorang Ayah. Memalukan" Ayah tertunduk layu. Menyesal.

"Bukan, Mas. Ini semua bukan kesalahannya Mas, kok. Kini salah aku, aku yang melarang Mas buat ketemu sama Rayhan. Aku juga yang selalu memarahinya ketika dia bertanya tentang Ayahnya. Maafkan aku, Mas" tante Vania tertunduk lesu pula. Menyesal dengan yang dia lakukan.

Astaga, apa maksudnya semua ini? Glendis masih mati-matian mecahkan teka-teki berliku yang ada di kepalanya itu.

"Kamu boleh bawa barang langsung setelah ini ke rumah, atau kalau mah besok juga gak apa-apa, yang jelas pintu rumah selalu terbuka untuk kami, jagoan Papa" Ayah mengacak pelan rambut Rayhan, kemudian memeluknya.

Rayhan tampak senang, senyuman tak pernah tanggal dari mulutnya.

"Okey, kita sampai sini aja dulu. Nanti kalau ada waktu kita sambung lagi. Kalau kalian mau datang ke rumah, pintu selalu terbuka buat kalian." Ayah tersenyum menyalam tante Vania.

"Apa benar Ayah bakal nikah lagi? Astaga, gue gak bisa bayangin sesedih apa Bunda kalo Ayah bakal nikah. Apalagi dengan ibunya teman sekelas Glendis.

"Bagus, Rayhan. Kamu sudah bisa mendirikan kafe, walau tidak sepenuhnya hasil tangan kamu sendiri. Tapi itu sudah luar biasa untuk anak seusai kamu." Bunda menepuk pelan pundak kelar laki-laki itu.

"Aah, ini belum seberapa, Ma. Lagian modalnya juga sebagian dari Papa" laki-laki itu tertawa, menatap ke arah Ayah sambil tersenyum.

Ayah berdiri diikuti tiga orang lainnya. Melangkah menuju luar kafe, pulang.

Hari sudah beranjak siang. Tak terasa, ternyata mereka pun sudah menghabiskan waktu cukup lama di dalam kafe itu.

Glendis menyadarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tengkuknya terasa pegal karena sejak tadi bersembunyi di balik buku menu.

Gadis itu menatap ke arah gadis kecil yang tertidur lelap berbantalkan lipatan tangannya.

"Aku kecil! Pulang, yok! Aku juga mulai ngantuk. Capek, pengen tidur siang." Glendis menggoyang bahu gadis itu dan hanya dibalas dengan gumaman tak jelas dari mulutnya.

Glendis memgoyangkan badan gadis kecil itu lagi. Membuat bocah itu tersentak bangun sambil menatap sekitar, kaget karena Glendis membangunkannya secara tiba-tiba.

"Udah, yok! kita pulang aja, gue capek."Glendis mengeliat di tempat duduknya. Kemudian menarik tangan gadis itu, membuatnya hampir terjatuh karena ditarik paksa.

Glendis menaiki motornya, menghidupkan benda besar itu. Melihat ke belakang untuk memastikan gadis kecil itu ikut atau tidak.

Kosong, tidak ada orang. Ayah sudahlah, dia pasti sudah sampai di rumah.

Glendis membelokkan motornya ke arah jalan besar. Melaju dengan kecepatan sedang, kemudian berhenti di dekat pertamina itu.

Glendis menggiring motornya  hingga sampai ke tempat pengisian minyak itu.

"Elo ngapain di sini?" Rayhan menatap Glendis dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Glendis menoleh ke sumber suara. Kenapa Rayhan malah ada di sini? Bukannya harusnya pulang? Glendis menatap dengan tatapan heran.

"Woy, malah bengong! Elo ngapain di sini?"

"Ngisi bensin lah ngapain lagi coba?" Glendis menatap dengan raut tak suka. Ngapain ngurusin Glendis, begitu tanggapan gadis itu. Mending ukuran urusan lo sendiri.

Glendis memajukan motornya kala antrean di depannya sudah kosong. Mengisi bensin itu dan membayarnya.

Berlalu meninggalkan Rayhan yang menatap ya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Ada apa dengan gadis itu? Kenapa sepertinya dia menghindar? Rayhan mengangkat bahunya. Kemudian berlaku untuk pergi mengambil motor yang tadi dia letakkan di tepi. Lantas berlalu untuk pulang ke rumahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Possible Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang