Beraksi 2

10 1 0
                                    

Glendis menepikan motornya di halaman sebuah kafe, kemudian masuk ke dalam kafe itu.

Ini bukan kali pertama Glendis memasukinya kafe itu . Lebih tepatnya ini yang kedua kalinya.

Kafe ini adalah kafe tempat Glendis melihat Ayah bersama tante Vania dan juga Rayhan.

Glendis memilih kursi di pojok ruangan. Dia sudah mengenakan jaket dan juga menutup kepala dengan topi beserta tudung jaket itu.

Gadis kecil itu mengatakan Ayah dan Bunda ada di sini. Karena itu, Glendis kembali terdampar di kafe ini. Mempercayai perkataan gadis kecil itu. Dia tak tau apakah dia terlalu bodoh mempercayai gadis itu atau malah beruntung.

Glendis menoleh ke arah gadis kecil yang duduk di sampingnya itu.

"Hey, Aku kecil! Kamu yakin Ayah dan Bunda ada di sini?" Glendis bertanya memastikan.

Pasalnya sejak tadi dia tidak melihat batang hidung salah satu dari mereka. Merasa dibohongi oleh gadis itu.

"Tunggu aja. Bentar lagi mereka bakal datang, kok. Gak usah curigaan gitu deh sama Aku!" gadis itu memasang wajah sok cemberut sambil menatap Glendis.

Glendis memutar bola matanya melihat tingkah gadis kecil itu. Kemudian menopang dagunya dengan tangan ke atas meja.

Seorang pelayan cafe menghampiri meja mereka, menanyakan pesanan. Glendis menunjuk salah satu minuman.

"Makannya nggak, Mbak?" pelayanan wanita itu bertanya sopan.

"Nggak. Minuman aja." Glendis menjawab datar. Bahkan, dia tidak berniat menatap wajah pelayanan itu.

"Ooh, baiklah. Tunggu sebentar ya, Mbak." pelayanan itu mengangguk sambil tersenyum. Masih berusaha mempertahankan kesopanannya. Walau jelas-jelas rautnya menunjukkan ketidaksukaan pada Glendis. Kemudian pelayanan itu berbalik menjauhi meja Glendis.

"Aku besar! Kamu harusnya lebih sopan kalau lagi ngomong sama orang lain. Setidaknya lihat mukanya." gadis kecil itu menatap ke arah Glendis.

"Gak usah ceramahin aku! Aku gak butuh ceramah!" Glendis menjawab ketua, kesal sendiri menunggu terlalu lama.

"Kamu harus berubah! Kembali menjadi diri kamu ketika kecil dulu. Dimana saat itu kamu sangat sopan kalau ketemu orang-orang, selalu bertegur sapa. Menebar senyuman, selalu  berbuat ba ... "

"Bisa berhenti, gak?! Aku capek dengar bacotan kamu! Udah deh! Itu udah lama berlalu. Bahkan bertahun-tahun. Aku bukan lagi aku yang dulu. Sifat aku sama kamu sekarang udah beda.
Aku ya gini, kamu lihat sendiri, aku nakal, jahat, tidak punya sopan santun dan segala keburukan lainnya bersarang dalam diri aku yang sekarang.
Udah beda sama kamu yang masih polos, sopan, baik, santun, pinter dan segala kebaikan lainnya. Aku capek! Aku udah gak kuat! Tolong! Jangan ungkit lagi semuanya. Karena kamu gak akan pernah tau gimana perjuangan aku untuk sampai ke tempat ini, sampai sejauh ini."

Seorang pelayan menghampiri meja mereka, mengantarkan pesanan. Pelayanan wanita, tapi bukan pelayanan yang tadi. Mungkin dia kesal menghadapi kelakuan Glendis yang tidak memiliki sopan santun.

Pelayanan itu mengangguk, mempersilakan menikmati suasana dan minumannya.

Masih sama, gadis itu hanya diam, mengangguk sedikit dengan wajah masam. Kesal dengan ceramah dari gadis kecil itu.

Pelayanan itu tersenyum kikuk, lantas berbalik dan berjalan cepat meninggalkan meja Glendis.

"Aku tahu gimana rasanya, karena itu aku ngomong." gadis kecil itu membuka suara.

Glendis tertawa sinis. "Tau apa kamu sama hidup aku? Gak usah sok!" Glendis membuang mukanya, menatap ke arah lain.

"Aku tau. Aku tau semua tentang kehidupan kamu. Tentang hancurnya kamu ketika Ayah dan Bunda bertengkar, tentang gimana mereka membuang segala kasih sayang yang selama ini selalu aku dapatkan, sekarang kamu tidak lagi mendapat semua yang aku dapatkan. Aku merasakan itu. Merasakan segala sakit yang kamu rasakan. Karena apa? Karena aku adalah kamu, dan kamu adalah aku.
Jangan berlagak seakan kamu adalah orang yang paling tersakiti. Karena di sisi lain, masih banyak yang juga merasakan sakit yang lebih." gadis itu berhenti. Menatap ke arah Glendis.

Glendis menghembuskan napas gusar. Tidak tahu ingin mengatakan apa. Karena semua yang dikatakan gadis kecil itu adalah benar.

Glendis memijat pelipisnya. Rasa pusing kembali melanda. Astaga, di saat seperti ini. Bukankah niat mereka ingin mencari tau tentang tante Vania? Lantas, kenapa ujung-ujungnya malah membahas sesuatu yang tidak Glendis inginkan?

Glendis meneguk minumannya, membuat kerongkongan yang sejak tadi kering itu menjadi basah, terasa lebih baik walau hanya sedikit.

"Kenapa Ayah dan Bunda belum muncul?" Glendis merubah topik. Kembali membahas niat awalnya yang tadi mulai tertimbun karena cerita masa kecil.

"Tunggu aja! Bentar lagi juga datang, kok" gadis kecil itu menatap ke luar kafe, menjuntai-juntaikan kakinya.

"Atau jangan-jangan, kamu bohongin aku?!" Glendis menatap tajam ke arah gadis kecil itu.

"Astaga" gadis itu memutar kedua bola matanya. Kesal sendiri melihat dirinya yang sudah besar itu, yang duduk di sampingnya itu.

Baru saja Glendis hendak berdiri. Tiba-tiba sudut matanya menangkap sosok Ayah dan Bunda di ujung sana. Berjalan beriringan menuju meja di bagian depan. Lantas menarik kursi untuk duduk dimeja itu. Jarak meja mereka dengan meja Glendis tidak terlalu jauh

Glendis kembali duduk. "Aku kecil! Itu Ayah sama Bunda!" Glendis menatap tak percaya. Bagaimana bisa yang dikatakan gadis kecil itu benar? Aneh.

"Iya, aku lihat, kok" gadis itu juga menatap ke arah yang sama dengan Glendis.

Glendis menarik topinya ke depan agar wajahnya lebih tertutup lagi. Memegang buku menu dan mengintip dari baliknya.

"Apa yang mereka katakan?" Glendis menggoyang bahu kecil di sampingnya.

"Mana aku tahu. Coba aja dengerin lebih tajam lagi! Manatau nanti bisa terdengar." gadis itu memberikan solusi.

Ketika Glendis tengah fokus-fokusnya memperhatikan sambil memasang pendengaran yang tajam, tiba-tiba tante Vania datang menghampiri. Bergabung duduk di samping Ayah. Tersenyum ke arah laki-laki itu, kemudian menatap masam ke arah Bunda.

"Sepertinya waktunya sudah tiba" Ayah membuka percakapan.

Glendis mendengar sayup-sayup suara berat itu. Menebak-nebak apa yang dimaksud Ayah.

"Iya, sepertinya waktunya sudah tepat" Bunda menunduk.

"Mas yakin?" Suara tante Vania terdengar sedikit cemas juga khawatir.

"Ya, sepertinya sekarang sudah waktunya. Terlebih lagi, sekarang mereka sudah besar. Mereka juga pasti lebih mudah mengerti."
Ayah meyakinkan. Walau nyatanya, raut mukanya pun masih sama khawatirnya seperti Bunda dan tante Vania.

"Mereka ngomongin tentang apa, sih" Glendis penasaran setengah mampus.

"Gak tau" gadis kecil itu mengedikkan bahunya.

Glendis menatap jengkel. Sepertinya bocah ingusan itu tidak begitu peduli.

"Kamu bantu dengerin, dong!" Glendis kesal sendiri.

"Tugas aku cuma bantu kamu biar lebih mudah mecahin masalah, bukan bantu kamu buat ngerjain semuanya. Kamu harus usaha!" gadis kecil itu menatap Glendis sambil tersenyum.

Glendis berdecak kesal. Siapa coba yang ngasih bocah itu tugas? Glendis kembali menatap ke depan, kembali fokus.

"Yang aku khawatirin itu Glendis. Apa dia bakalan bisa nerima? Bakal ngerti?" Ayah kembali membuka suara setelah lama terdiam.

Glendis mengerutkan keningnya. Maksud Ayah apa?

Possible Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang