Kasih Sayang Yang Menghilang

49 8 15
                                    

Krek ... Pintu dibuka.

Glendis mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tamu. Tidak ada orang.

Pukul 23.00 WIB. Glendis baru pulang dari gym, pergi melemaskan dan menyegarkan otot dan otaknya. Juga pulang dari mengantar gadis imut tadi.

Glendis mengunci pintu dari dalam. Pintu itu tidak pernah dikunci sampai dirinya pulang. Selalu begitu, dia pun tak tau alasannya. Apakah dia masih diharapkan di rumah ini? Entahlah, dirinya terlalu lelah untuk berpikir.

Glendis berjalan tertatih menuju lantai dua-kamarnya. Badannya masih remuk, luka di lututnya membuat gadis itu berjalan menyeret kakinya.
Badannya masih basah, walau tidak sebasah tadi tapi itu cukup untuk membuat badan menggigil kedinginan.

Prang ... Suara benda pecah terdengar dari lantai satu--kamar bunda dan ayahnya,juga suara tendangan dan teriakan, dan berakhir dengan suara tangisan dan bantingan pintu.

Glendis menatap nanar ayahnya yang keluar dari kamar sambil membawa kunci mobil--menuju pintu utama. Glendis masih berada di tangga, menyaksikan si brengsek itu keluar dari istananya.

Sebelum benar-benar keluar, laki-laki paruh baya itu membalikkan badannya--menatap ke arah Glendis yang masih diam di tangga.

'Apa?' Glendis  menantang tatapan itu dengan tatapan tak bersahabat.

'Belum puas nyakitin bunda? ' batinnya.
' Pergi sana'. Dia menyuarakan isi hati dengan tatapannya.

Ayahnya berbalik, membuka pintu lantas membantingnya dengan keras.

Suara isak tangis masih terdengar dari kamar Bunda, diiringi suara mobil di luar sana.
Sepertinya raja jahat itu sudah pergi,entah kemana, bahkan Glendis pun tidak mau memikirkannya. Sejak saat itu dia memilih untuk tidak peduli. Untuk apa peduli kepada orang yang tidak peduli kepada keluarganya?

Perlahan, dengan langkah terlatih Glendis menuruni anak tangga lagi--menuju kamar bunda.

"Bun, Bunda gak apa apa, kan?, Glendis masuk ya". Dia membuka pintu dan menemukan Bunda terduduk di lantai dengan keringat yang membanjiri matanya.

Dengan langkah masih tertatih, Glendis menuju ke arah Bundanya. Membantu tubuh itu agar berpindah ke atas kasur.

"Badan kamu basah, nak?, kamu dari mana?"

'Bunda khawatir?, apa benar Bunda khawatir sama Glendis?' hati gadis itu menghangat, seperti disirami cahaya lembut mentari pagi. Menyejukkan. Hawa dingin yang dirasakan tadi sudah lenyap.

"Bagaimana dengan Meysia?, kamu tidak membawa adek kamu kan?, Bunda tidak sanggup jika dia sakit."

Tatapan khawatir itu bukan tertuju padanya.

Perlahan, perasaan hangat tadi menghilang. Hawa dingin kembali datang dan berubah menjadi es runcing yang bersiap menusuk jantung.

Glendis tersenyum kecut, seharusnya dia sadar sekarang kasih sayang Bunda hanya untuk Meysia bukan Glendisia.

Seharusnya dia tidak terlalu berharap akan perhatian Bunda. Perhatian yang sejak masuk SMP tidak dia temukan lagi.

Senyuman Bunda sekarang tidak lagi tertuju padanya melainkan kepada adeknya--Meysia.

Perlahan dia bangkit dari duduknya. Tidak kuat berada di kamar yang serasa kutup utara. Yang di setiap sudut ruangannya memiliki es runcing yang siap menembus kulit,mengincar jantung, lantas membunuhnya secara mengenaskan.

"Bagaimana dengan adekmu, Glendis? " Gadis malang itu tak menghiraukan bundanya, dia terus berjalan tertatih sambil membawa perih di dada.

Tidak pernahkah bunda mengkhawatirkan dirinya?, keselamatannya?, bukankah dia anak pertama bunda?, bukankah anak pertama selalu disayang orang tuanya?, bahkan bunda tidak menanyakan kenapa jalannya terlatih.

Possible Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang