Senyuman Yang Telah Kembali

17 2 0
                                    

"Lo... Lo Siapa?" suara Glendis bergetar bersamaan dengan tangan dan kakinya.

Sosok itu masih berdiri di tempatnya_sambil tersenyum.

Oh astaga, senyuman manis itu benar-benar merampas segala keberanian Glendis, membuat ketakutan semakin menjalar dalam nadinya.

Sosok itu mendekat. Glendis meremas bagian bawah hoodie-nya, tangannya sudah basah sejak tadi.

Gadis itu mencoba mundur_menjauh dari sosok tak dikenal itu. Namun, badannya tidak bisa digerakkan, pun mata Glendis tidak bisa berpindah dari menatap manik mata hitam legam sosok dihadapannya.

Sosok itu semakin mendekat dengan tempo lambatnya, tapi bagi Glendis itu merupakan tempo berjalan yang paling cepat yang pernah dia temui.

Glendis mati-matian menggerakkan badannya. Dia sudah memutus pandangan dengan sosok itu, kini pandangannya beralih menuju pintu kamarnya_ingin melarikan diri melalui pintu itu.

Ketika Glendis mengalihkan pandangannya dari pintu menuju sosok itu, tiba-tiba sosok itu sudah berada dihadapannya.

Sontak gadis itu refleks mundur dari posisinya semula. Detak jantungnya juga kembali berpacu mengalahkan dentingan jarum jam.

"Jangan mendekat! " suara itu tercekat di tenggorokan Glendis. Nadanya masih seperti ancaman, tapi percuma , sosok itu sudah berdiri persis dihadapannya. Bersiap menyentuh Glendis.

" Pergi! ... Gue mohon " suara Glendis melemah_ketakutan.

"Jangan ganggu gue!... Please" gadis itu memohon. Suaranya semakin mengecil_seperti bisikan. Glendis takut, sungguh.

"Aku akan membantumu" suara itu menggema ditelinga Glendis, membuat telinganya seperti dipukul gendang_terasa sakit.

Tangan itu sudah berhasil menyentuh bahunya. Namun, entah kenapa sentuhan itu terasa, menenangkan?

Tanpa berpikir dua kali, Glendis langsung mengeyahkan tangan kecil yang bertengger dibahunya. Kemudian berlari menuju pintu_membukanya dan meninggalkan kamar beserta sosok kecil misterius yang berada di kamar itu.

Glendis melangkahi beberapa tangga sekaligus, berlari di tangga itu. Persetan dengan terjatuh, yang terpenting sekarang adalah bagaimana dia bisa secepatnya meninggalkan lantai dua. Hanya satu tujuannya, yaitu kamar Bunda. Ayolah, bagaimanapun keras kepalanya seorang anak, tempat kembalinya tetaplah pelukan sang ibu.

Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Glendis langsung membuka pintu kamar Bunda. Ekor matanya menangkap sosok malaikat itu tengah berbaring di tempat tidurnya sambil menatap Glendis dengan tatapan terkejut bercampur heran.

Tanpa membuang waktu Glendis langsung menutup pintu dan berhambur ke arah Bunda. Badan Glendis masih gemetar walau tak separah tadi, pun keringat masih membanjiri tubuhnya. Coba bayangkan bagaimana rasanya melihat sosok yang serupa denganmu ketika kecil dulu tengah tersenyum dan berbicara kepadamu, dan itu, di kamarmu?
Oh astaga, kepala Glendis hampir pecah rasanya. Dia bisa gila memikirkan kejadian tadi.

Glendis sudah berbaring di samping Bunda, memeluk Bunda dengan erat_terasa menenangkan. Kehangatan itu benar-benar mengalir dari tubuh bunda, entahlah dari hatinya. Pelukan ini pula lah yang telah lama tidak dirasakan gadis itu. Pelukan malaikatnya.

" Kenapa sayang? Kok tumben ke kamar Bunda dan meluk Bunda gini? Kamu kangen sama bunda hm? " tangan itu mengelus puncak kepala buah hatinya dengan sayang. Pelukan yang sudah lama tidak dia berikan kepada anak sulungnya ini ternyata berakhir di sini. Benteng yang dia ciptakan roboh. Runtuh dan berceceran di lantai kamar itu membentuk serpihan kenyataan.
Tidak! Dia tidak pilih kasih. Bukankah yang dia lakukan selama ini untuk kebaikan Glendis. Ya, itu untuk kebaikan anaknya. Dia menyayangi kedua buah hatinya, walau dengan cara yang berbeda.

Glendis tidak menjawab pertanyaan itu. Gadis itu malah semakin mengeratkan pelukannya, takut pelukan itu terlepas dan menghilangkan kehangatan yang sudah lama menghilang, dan sepertinya kini kembali menjadi candu. Entahlah, apakah besok dia masih bisa merasakannya.

" Glendis, kamu tidak apa-apa kan sayang? Badan kamu panas dan berkeringat" sentuhan lembut itu benar-benar melenakan. Kekhawatiran dimata Bunda melelehkan hati yang selama telah mengeras seperti batu. Lihatlah! Sekarang Glendis benar-benar berharap kekhawatiran Bunda tertuju padanya, bukan kepada adiknya. Astaga, berani sekali dia mengharapkan sesuatu yang istimewa itu. Sampai-sampai Glendis melupakan sosok kecil misterius di kamarnya.

Badan Glendis menegang kala ingatannya memutar kejadian tadi. Sosok itu menyentuhnya dan mengatakan hal yang sama sekali tidak Glendis mengerti.
Apa maksudnya membantu? Membantu melakukan apa? Dan siapa juga yang butuh pertolongan.

Ayolah, Glendis tidak membutuhkan bantuan apa-apa. Apalagi dari sosok kecil yang menyerupainya tadi.

Hey, coba pikirkan dengan baik! Apa yang bisa dilakukan anak kecil untuk membantu seseorang yang hampir melangkah menuju tahap, dewasa? Dan Glendis tidak selemah itu, dia cukup kuat dan tangguh menghadapi masalahnya. Walau masalah itu masih terus bertengger dan enggan beranjak dari pundaknya. Lagi pula anak seusia sosok tadi biasanya hanya tau cara bermain, mereka tidak akan peduli dengan masalah orang dewasa. Tapi entahlah dengan sosok tadi. Apakah dia benar-benar manusia? Ataukah... Entahlah, gadis itu terlalu takut membayangkannya.

Pelukan dari tangan kecil Glendis masih melingkar dipinggang bunda. Sentuhan hangat bunda pun masih setia dikepalanya. Memberikan rasa aman dan nyaman. Perasaan takut tadi Perlahan-lahan menghilang.

Udara panas diluar tidak berhasil mengalahkan pendingin di ruangan itu. Menjadikan ruang kamar Bunda tetap sejuk dan nyaman. Namun, berbeda dengan penghuninya, kala dua insan pemilik kamar itu berada di ruangan yang sama. Baik di kamar maupun di ruangan lainnya.

Beruntung Glendis tidak menemukan sosok satunya dikamar itu. Jika tidak, entahlah apa yang akan terjadi. Bisa-bisa yang dia dapatkan adalah bentakan dan pukulan yang menghantam raga dan jiwa. Menghanyutkan rasa sayang yang seharusnya dia berikan kepada orang itu.

Tentu saja itu bukan kesalahannya. Sebelumnya dia tidak pernah membantah perkataan ayahnya. Dia tidak tahu penyebab sang ayah berubah 180 derajat.

Sosok yang sekarang bukanlah ayahnya. Ayahnya bukanlah seseorang yang jahat, bukan pula seseorang yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Ayah yang dia kenal adalah seseorang yang penyayang, penyabar, dan selalu penuh dengan kelembutan. Ayah yang dia kenal adalah seorang yang tegas tapi tidak keras. Seorang yang mengayomi tanpa menyakiti. Seorang yang mendidik, bukan menghardik. Ya, seorang yang penuh dengan kebaikan. Namun sayang, semua hanya tinggal kenangan.

"Bun... "

" Ya sayang? " tangan itu berhenti mengelus puncak kepala Glendis. Matanya kini beralih menatap manik mata anak sulungnya itu, sementara senyuman menenangkan tidak pernah luntur dari bibir tipisnya.

"Bunda, udah makan? " pertanyaan bodoh macam apa itu. Glendis merutuki dirinya. Sebenarnya dia ingin menanyakan tentang sosok itu. Namun, yang terlontar dari mulutnya adalah pertanyaan yang tak berfaedah.

Tawa renyah itu menggelitiki hati Glendis. Sudah lama dia tidak mendengarnya. Selama ini yang dia dengar dari mulut sang Bunda hanyalah tangisan dan isakan. Senyuman tipis muncul dibalik lengan bunda. Ya, Glendis membenamkan mukanya di sana. Kali ini bukan senyum keterpaksaan dan kepura-puraan, melainkan senyum keikhlasan.

Suasana hati Bunda sepertinya sedang baik, pun suasana hati gadis tomboy itu. Karena itu, Glendis memutuskan untuk tidak bercerita tentang sosok itu kepada bunda hari ini. Sungguh, dia tidak ingin mengacaukan suasana hati bunda. Karena bahagia Bunda adalah bahagianya. Lagi pula masalah sosok misterius itu masih bisa diceritakan esok hari. Walau sebenarnya ketakutan Glendis akan sosok itu masih bersarang. Dan sepertinya malam ini dia akan menumpang tidur di kamar Bunda_jika ayah tidak pulang.

Possible Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang