Awal

12 0 0
                                    

Glendis meraih ponsel disaku celananya, lantas meletakkan ponsel itu ditelinganya tanpa menengok nama si penelpon.

Matanya masih menatap ke arah luar cafe, memperhatikan Ayah dan wanita yang menggandeng tangannya itu memasuki mobil.

"Halo, Kak? Kakak dimana?" suara cempreng itu mengejutkan Glendis. Suara yang sangat familiar ditelinganya. Suara adek satu-satunya, Meysia.

Glendis memejamkan matanya, menghela napas pelan, hampir tak terdengar, kemudian kembali duduk.  Glendis tetap diam. Tidak menanggapi. Untuk apa Meysia menelponnya? Tumben.

"Kak? Kakak masih di sana, 'kan? Halo?" Meysia memastikan apakah panggilannya dengan Glendis masih tersambung.

"Ada apa? " Glendis mendengar helaan napas lega diseberang telpon.

"Kakak dimana?"

"Pastinya masih di bumi yang sama." Glendis menjawab sarkas.

"Kakak jangan bercanda, dong!" Meysia sedikit jengkel.

"Siapa yang bercanda? Bener 'kan aku masih di bumi. Atau, aku sekarang lagi di Mars? " Glendis memasang tampang bodoh walau tak nampak oleh lawan bicaranya.

Helaan napas itu kembali terdengar. "Kakak tadi malam tidur dimana?"

"Tenang aja. Gue gak tidur di rumah kok"

"Bunda khawatir. Takut kakak kenapa-napa." Meysia tidak memperdulikan kalimat Glendis. Memilih menyampaikan tujuannya.

Glendis tergelak. "Kamu gak salah? Sejak kapan mereka peduli sama aku?" napas Glendis memburu, kesal.

"Ayah sama Bunda selalu peduli sama kakak! Kakak yang selalu mandang mereka sebelah mata!" Meysia kesal. Menumpahkan segalanya kepada Glendis.

"Peduli? Kamu bilang mereka peduli? Kalo mereka peduli aku gak bakalan pergi dari neraka itu!" Glendis terpancing emosi. Gadis itu  mengepalkan tangannya di atas meja.

"Kakak harusnya lebih ngertiin Ayah sama Bunda! biar kakak bisa ngeliat kepedulian Ayah sama Bunda!"

"Tau apa kamu soal peduli?" Glendis tergelak. "Anak kayak kamu yang biasa dimanja gak bakalan ngerti gimana rasanya di buang!" mata Glendis memerah menahan amarah. Suaranya masih dia tahan agar tidak menimbulkan perhatian sekitar.

"Kakak juga dimanja. Makannya Kakak jadi kayak gini. Karena Kakak gak dapet kasih sayang kayak sebelumnya, 'kan? Karena kasih sayang Ayah dan Bunda, udah pindah ke aku." Meysia tersenyum mengejek.

Emosi Glendis tersulut. Seperti api kecil yang disiram dengan minyak tanah. Langsung menggelegar hingga ke ubun-ubun.

Glendis meletakkan beberapa lembar uang di atas meja, kemudian melangkahkan kakinya dengan cepat ke luar cafe,  tidak sanggup menahan suara untuk melampiaskan emosinya.

"Jaga omongan kamu ya! Aku ini kakak kamu!" Glendis mengingatkan. Dia masih berada di halaman depan cafe. Berdiri di samping motor besarnya.

"Aku tau kok kalo kakak itu kakak aku, makanya itu aku nelponin kakak. Kalo nggak ya ngapain, ngabisin waktu aja." Meysia masih jengkel. Namun, suaranya sudah lebih terkendali dari pada yang tadi.

Glendis menghela napas. Kemudian memutar badannya agar bisa bersandar ke motor itu.

Tak sengaja, ujung mata Glendis melihat Rayhan keluar dari cafe.

"Kakak harus  pu ... "

Glendis memutuskan sambungan telpon sepihak. Tidak peduli dengan Meysia yang kesal setengah mati di seberang sana.

Possible Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang