"Cinta hadir tanpa kita sadari."
***
"Yeay! Goal! Semangat!"
Suara supporter menggema setelah Darren berhasil memasukkan bola ke gawang.
Jihan bertepuk tangan, mata sipitnya hanya tertuju pada Darren. Cewek itu duduk di kursi tribun paling depan dengan beberapa temannya. Salah satunya Ara.
Hari ini free class, semuanya sibuk mempersiapkan lomba-lomba untuk esok hari, dan hari ini adalah pertandingan sepak bola antar kelas. Yang tentunya saja kelas Jihan harus bertanding dengan kelas lainnya. Pantas saja di kelas sepi, tahu begitu tadi Jihan tak usah buru-buru berangkat ke sekolah tadi.
Ara melihat penampilan Jihan berbeda hari ini. Cewek itu menyenggol bahu Jihan, kemudian ia berdeham, "Ehem, lo keliatan sexy."
"Sexy pala lo, gak enak gue pakai, nih. Kekecilan," sahut Jihan lirih.
Ara terbahak, "Kalau gak enak kenapa di pakai dodol."
"Ceritanya panjang."
"Terus, kenapa lo bisa pakai jaketnya si Darren?" Ara tersenyum jahil, "ayo, lo ada apa, nih sama Darren. Ngaku?!"
Jihan tersipu malu. Pipinya terasa panas hingga ke telinga. Cewek itu merapatkan pelukannya pada jaket Darren. Bau mint langsung masuk ke indra penciuman Jihan.
"Heh! Malah diem!" ucap Ara mengagetkan.
Ara beralih ke arah pemain sepak bola. Cewek itu memasukkan potongan cokelat terakhirnya ke dalam mulut.
"Lo tahu, Han. Dari sekian banyaknya cewek di sini, lo adalah satu-satunya cewek beruntung bisa sedekat itu sama Darren," lanjut Ara.
Jihan menoleh. "Beruntung kata lo? Yang ada sial buat gue."
Ara tertawa pelan. "Asal lo tahu, Han. Darren udah mulai ada perubahan semenjak kenal sama lo."
"Dia sebenarnya anti sama cewek. Dulu pernah ada cewek yang coba deketin dia. Kasih cokelat'lah, bunga'lah, atau semacam itu ke Darren. Lo tahu apa yang Darren lakuin sama cewek itu?" Ara menatap mata Jihan yang nampaknya mulai tertarik.
"Darren malah buang semua pemberian itu ke tempat sampah di depan anak-anak. Maki-maki nggak jelas, ngatain ini itu. Tapi sama lo .... dia malah sering ngelontarin kata-kata manis meski caranya beda. Right?"
Jihan mengangguk membenarkan. Semenjak ia masuk ke sekolah ini, Darren sering menganggu dirinya dengan kata manis dan membuat Jihan kesal sendiri dengan tingkahnya.
"Gue gak tahu kenapa, lo cocok aja sama Darren. Lo cewek satu-satunya yang berani lawan cowok tengil itu." Ara tertawa di akhir katanya.
"Rika?"
Entah kenapa ia bertanya tentang Rika. Ia masih sangat ingat tentang Rika yang waktu itu pernah mengatakan bahwa ia harus menjauhi Darren.
"Rika itu partner belajarnya Darren. Deket banget kalau lagi belajar atau presentasi aja. The best deh pokoknya kalau satu kelas sama mereka."
Jihan mengangguk. Jadi hanya sebatas teman belajar. Tapi, kenapa sikap Rika terlihat tidak suka kepada dirinya?
"Kenapa emangnya? Apa ada problem?"
Jihan menggeleng. Tidak terlalu penting membahas cewek caper Rika itu. Toh, lama-lama juga akan terlihat sendiri sifat aslinya Rika.
Priittt!!!
Suara peluit menyadarkan Jihan dari lamunannya. Ah, ternyata pertandingannya sudah selesai.
Jihan meraih botol Aqua yang sudah ia beli sebelum menonton. Ia berniat ingin memberi botol Aqua itu pada Darren untuk tanda terima kasihnya hari ini.
Baru saja kakinya menyentuh rumput hijau, Jihan mengurungkan niatnya melihat ada orang yang mendahuluinya. Dia adalah Rika.
Jihan dapat melihat Rika tersenyum sinis padanya.
Ada rasa tak suka melihat Rika yang mengelap keringat Darren. Jantungnya seperti ada yang mencubit, sakit tapi tidak berdarah.
Jihan sadar, dia bukan siapa-siapa. Tak ingin menambah rasa sakit, Jihan berlalu dari sana. Jika terus-terusan melihat adegan itu akan tidak baik untuk hatinya.
***
"Dah, Ara, hati-hati, ya."
Jihan melambaikan tangan pada Ara yang sudah di jemput oleh sang sopir pribadinya. Setelah mobil hitam itu menghilang dari pandangannya, Jihan berjalan melewati trotoar. Sesekali ia menengok ke belakang menunggu bus atau angkot yang lewat.
Setelah sampai di depan halte, cewek itu memilih duduk dan melihat kendaraan yang lewat. Tapi, sejak lima belas menit ia duduk di sana tak ada satupun kendaraan umum yang lewat. Ingin pakai taxi ia sedang hemat uang. Mau pakai gojek tapi kuotanya habis.
Ah, hari ini benar-benar sial.
Deruan motor yang berhenti di depan membuat Jihan menyerngit. Helm full facenya tidak bisa mengetahui siapa sosok laki-laki yang duduk di atas motor sport merah.
Saat helm itu terlepas, Jihan mengalihkan pandangannya. Ia masih ingat kejadian tadi pagi.
"Naik, gue anter lo pulang," kata Darren.
"Nggak makasih. Gue gak butuh tumpangan lo," balas Jihan yang masih tak ingin menatap Darren.
"Kalau ngomong lihat ke orangnya. Buruan naik, ini udah sore." Darren sedikit menaikan suaranya.
"Gue nggak mau. Lo kok maksa."
"Gue gak maksa lambe doer, noh lihat matahari udah mau ngumpet. Gak bakal ada angkutan umum yang lewat. Yang ada malah preman. Mau di culik, eh?"
Jihan menggeleng.
"Nah, ayo."
Jihan menurut. Toh, ada tumpangan gratis kenapa tidak dimanfaatkan? Baru saja Jihan memegang bahu Darren, cowok itu bertanya, "Wait, jaket gue mana?"
Jihan mendengus. Ia membuka tas ranselnya. Mengambil jaket levis Darren.
"Nih, ntar'an aja'kan bisa," ucapnya seraya menyodorkan jaket tersebut.
Darren tak membalas ucapan Jihan. Cowok itu turun dari motor. Berjalan mendekatkan diri kepada Jihan.
Darren melepaskan tasnya dan meletakkan di atas jok motor. Ia melepaskan kancing seragam putihnya. Tindakan itu membuat Jihan jadi gugup.
"Eh, lo mau ngapain anjir."
Jihan menutup matanya. Namun tak lama, tangan Jihan tertarik. Kemeja putih milik Darren di pakaikan di tubuh Jihan.
"Eh?"
Jihan mematung. Ia menahan napas, wajah Darren begitu sangat dekat. Jantungnya kini mulai berdetak tak karuan. Desiran aneh mengalir di sekujur tubuhnya.
Seragam yang Jihan kenakan terlihat kebesaran. Lalu, Darren mengikat jaket miliknya ke pinggang cewek itu, menutupi paha mulus Jihan.
"Nah, gini'kan enak gue lihatnya. Yuk, balik."
Kaos putih oblong yang Darren kenakan memperlihatkan otot besarnya. Jihan menenggukan air ludahnya susah payah. Kadar ketampanan Darren semakin meningkat.
"Woy! Buruan. Bengong aja."
Jihan membenarkan posisi tasnya. Memegang pundak cowok itu sebagai tumpuan ia naik ke atas motor Darren.
"Pegangan. Gue takut lo mati."
"Nggak per—Aaaa ...."
Darren langsung menancapkan gasnya di atas rata-rata yang membuat Jihan reflek memeluk tubuh Darren.
"DARREN! JANGAN KENCENG-KENCENG. KALAU LO MAU MATI JANGAN NGAJAK GUE!"
Kepala Jihan dibenamkan di punggung Darren. Tangannya begitu erat memeluk. Tak tahukah tindakan Jihan membuat Darren berjingkrak kesenangan.
***
Yole hihu
Next?! Ayo beri aku votement awokowko.
Fresha Ainnabilla yg lagi mager.
18/5/20.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You [Completed]
Fiksi Remaja[Noted] Maaf, cerita ini masih banyak kurangnya. Terima kasih sudah memberikan votment kalian. Itu sangat berharga. Terima kasih juga untuk silent reader. Aku menghargai kamu❤ Semoga kalian terhibur:) Highest rank(?) [10.5.20] # 64 in couple goals ...