Pukul 1:26 malam, Rose masih terjaga. Ia tidak bisa tidur. Rose menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Melihat tangan kekar Jimin yang melingkar diperutnya, seolah memperlihatkan Rose hanya miliknya, tidak boleh jauh darinya, dan harus selalu ada dijangkauannya.
Kedengaran posesif?
Kenyataannya memang begitu. Bagi Rose, Jimin itu tidak tertebak. Meski sudah 2 tahun, semenjak mereka saling mengenal dan memulai hubungan. Namun Rose masih saja seringkali dibuat bingung dengan apa yang ada dipikiran pria itu.
Seringkali, Jimin begitu manis dan perhatian. Menjaganya, layaknya porselen yang rapuh. Namun, tak jarang ia begitu kasar dan arogan ketika apa yang ia inginkan tidak ia dapatkan. Seringkali juga Jimin mengamuk karena Rose tidak menuruti kemauannya.
Tidak hanya sekedar menyakitinya dengan kata-kata. Justru itu jarang dilakukan. Jimin lebih suka langsung bertindak, dan ia tidak jarang melukai Rose. Namun kemudian ia kembali dengan perasaan yang begitu menyesal dan memohon maaf pada Rose.
Dan entah karena sudah terlalu sayang, atau justru terlalu takut. Rose selalu kembali memaafkannya.
Jangankan memahami Jimin, memahami dirinya sendiripun masih sulit. Entah apa yang membuatnya menjadi begitu candu pada pria yang kini tengah tertidur pulas dibelakangnya ini. Jimin itu bengis, kejam, tidak tahu rasa kasihan, begitulah yang Rose tau saat pertama mengenalnya dulu.
Namun sorot mata Jimin yang sayu namun tajam diwaktu yang bersamaan itu seolah membiusnya. Rose yang tadinya takut ditugaskan menjadi dokter yang menangani Jimin, lambat laun mulai menikmati tugasnya. Acapkali ia bersemangat ketika sudah waktunya ia harus memberikan pemeriksaan serta konsultasi kesehatan mental pada pria itu.
Rose yang tadinya ragu, dan takut. Menjadi gelisah menunggu kapan waktunya untuk mengunjungi Jimin akan tiba. Bukan hanya itu, ia jadi dijarah rasa penasaran akan apa yang ada dalam pria itu. Hidupnya, masa lalunya, kebenaran tentangnya, Rose ingin menjadi salah satu atau bahkan satu-satunya orang yang mengetahui semua itu.
Dan lihatlah sekarang, ia berhasil. Laki-laki yang dikenal sebagai psikopat kejam ini jatuh bertekuk lutut dihadapannya. Menjadi seseorang yang begitu melindunginya, membuatnya tak tersentuh oleh siapapun, tidak ada yang berani menyakitinya. Rose aman, selama ada Jimin disampingnya.
Namun, aman dari orang lain bukan berarti ia aman dari Jimin. Seringkali, justru ia oleh disakiti oleh Jimin. Rose bingung, apa laki-laki itu sungguh mencintainya? Mungkin ya. Hanya saja, cintanya begitu obsesif dan arogan.
Suara napas Jimin yang teratur terdengar begitu jelas ditelinganya. Sepertinya malam ini Jimin begitu pulas tertidur?
Jantung Rose berdebar. Bukan, bukan berdebar karena pelukan Jimin. Itu sudah tidak mendebarkan lagi baginya, walaupun Rose jujur saja masih menyukainya. Tidak berkurang sedikitpun, bahkan kian bertambah.
Dengan hati-hati dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikitpun, Rose menyingkap selimutnya. Mengangkat perlahan jari jemari Jimin dari pinggangnya. Melirik sebentar, pria itu masih terlihat tertidur pulas.
Dengan hati-hati Rose bangun, berjalan ke sisi nakas melihat gelas air putih yang sudah ditandaskan Jimin. Rose mengguncang gelas itu perlahan, serbuk-serbuk putih terlihat beterbangan disisa air pada gelas itu. Tidak terlihat sekilas, hanya seperti air putih biasa.
Rose meneguk ludah, melihat Jimin. Ia kemudian membawa gelas itu, dan membuang sisa airnya dikamar mandi.
Dengan langkah berjingkat, Rose kemudian keluar dari kamar. Ia turun kelantai bawah, masih dengan berhati-hati. Berusaha tidak menimbulkan keributan, barang sedikitpun.
Prang!!!
Tidak sengaja Rose menyenggol hiasan rumah.
Bodoh, pikirnya.
Rose hanya berharap semoga saja Jimin tidak terbangun karena suara benda yang ia jatuhkan. Cepat-cepat Rose segera mengembalikan benda itu ketempat semula.
Gadis itu terus saja mengawasi keadaan sekitar sembari berjalan mundur, takut-takut jika saja Jimin tiba-tiba muncul.
Tuhan, tolong aku.
Dan berhasil, sampai di pintu utama rumah ini. Perjalanan dari lantai atas kebawah yang sebenarnya tidak seberapa jauhnya menjadi terasa sangat mendebarkan dan melelahkan karena ia dihantui rasa takut.
Rose sudah mengambil mantel yang tergantung diruang tengah tadi. Mengetahui bahwa bajunya sangat tidak pantas dibawa keluar. Baju tidur dengan bahan minim, apalagi setelah pergulatan panas Rose dengan Jimin tadi. Tidak, dia tidak akan bodoh membahayakan dirinya sendiri ditengah malam begini.
Rose memakai mantel itu. Kemudian tangannya dengan cekatan namun tetap hati-hati meraih kusen pintu. Ia membuka kuncinya.
Ceklek
" Mau kemana kamu! " Rose berjengit, terkejut dengan kehadiran Jimin. Yang entah sejak kapan dan muncul darimana.
Jimin mencengkeram lengannya erat, melihatnya dengan tatapan yang tajam, sorot matanya membunuh dan begitu menakutkan.
" J-jimin " Suara Rose bergetar, ia benar-benar takut.
" Mau kemana kamu Rose " tanya Jimin menuntut jawaban, cengkeramannya semakin menguat dilengan Rose.
" A-aku, aku, aku mau keluar cari udara segar aja Jim " jawab Rose terbata-bata.
Jimin diam, masih menatap Rose dengan tatapan tajam. Rose paham, Jimin meminta penjelasan lebih.
" Aku gak bisa tidur, kamu tau kan aku punya gangguan kecemasan. Aku tiba-tiba aja gak tenang, aku cuma mau keluar cari udara segar Jim " lanjut Rose kemudian.
" Oh ya? Kamu yakin? " Tanya Jimin, cengkeramannya sedikit mengendur.
Rose mengangguk.
" Kenapa gak bangunin aku, kita bisa pergi berdua. Kamu pergi sendiri kaya gini, bahaya. " ucap Jimin yang kini sudah beralih memeluknya, mengusap surai emas Rose.
" Aku, aku takut kamu marah. Aku gak mau ganggu tidur kamu " ucap Rose yang sudah menenggelamkan wajahnya didada Jimin.
Jimin mengecup puncak kepala Rose.
" Aku justru marah kalo kamu pergi diam-diam dan sendiri begini "
Rose mengangguk, mencengkeram baju tidur Jimin.
" Aku minta maaf "
Jimin tidak membalas perkataannya, hanya mengecup kepalanya sekali lagi. Dengan tangan yang masih mengusap rambutnya dengan lembut.
Kalau begini, bukankah Jimin terlihat begitu menyayangi Rose?
Untung aja Jimin percaya, batin Rose. Dalam hati ia begitu lega.
Rose tidak tahu, Jimin mengusap surai emasnya dengan tersenyum miring.
Kamu pikir aku gak tau kamu taruh obat tidur diminuman aku?
|•|°|•|
Halo semuaaaa, lama banget aku ga update yaaa. Aku harap kalian masih jadi pembaca setia dicerita inii yaa.
Dan makasih yang masih suka comment buat nyemangatin aku dan menunggu kelanjutan cerita ini.
Aku sayang kalian guyss💕💕
Next chapter setelah 100 vote yaa
See u in the next chapter 💕💕💋
![](https://img.wattpad.com/cover/123635365-288-k258570.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSED [Rose×Jimin]
Short StoryIni tentang mereka berdua yang punya Obsesi gila pada diri mereka sendiri dan satu sama lainnya. Mereka sakit jiwa. #JiRose#