O6

3.1K 329 15
                                    

BRAK

Suara pintu yang sengaja dibanting keras-keras itu menjadi penutup dalam pertengkaran hebat Rose dan Jimin. Jimin pergi, seperti biasa.

Selalu berakhir seperti ini, setelah mereka bertengkar Jimin selalu pergi. Dan seakan sudah terbiasa akan hal itu, Rose hanya bisa menghela napas pasrah.

Ia berusaha bangkit berdiri mengandalkan kekuatan tangan nya yang bertumpu pada sofa. Namun sepertinya tiba-tiba tubuhnya oleng seolah kehilangan banyak tenaga. Bahkan berdiri saja ia tak sanggup.

Namun ia tak menyerah, Rose mencoba untuk kedua kali. Namun yang ia dapati sama, tubuhnya kembali jatuh terduduk lemas.

" Kenapa tiba-tiba jadi lemah kaya gini sih! " Ucapnya kesal. Ia kesal, kesal pada dirinya sendiri yang selalu lemah seperti ini. Ya, ia memang seorang pecundang yang lemah. Bukankah begitu?

Kembali lagi, untuk yang kesekian kalinya bulir bening itu kembali mengalir pada pipi mulusnya. Awalnya hanya terisak, namun apa daya ia tak mampu menahan itu lebih lama lagi. Akhirnya Rose menangis tersedu-sedu, menelungkup kan kepalanya diantara kedua lututnya.

Perih, luka yang masih baru itu terasa perih ketika Rose menghujaninya dengan puluhan tetesan air mata. Kepalanya pening dan sakit karena benturan cukup keras yang ia terima. Tubuhnya yang menyisakan lebam membiru mati rasa.

Namun, hatinya jauh lebih sakit. Jiwanya jauh lebih terluka. Rose lelah, lelah dengan semua ini. Namun sanggupkah ia mengakhirinya? Jika saja sebelum memulai ia sudah menyerah seperti ini.

Rose mengangkat kepalanya kembali, menelisik keseluruhan ruangan itu. Benar-benar kacau, vas bunga yang pecah dan kaca yang berhamburan serta berbagai peralatan yang sudah tidak pada tempatnya.

Rose meraih handphone nya yang terletak tak jauh dari tubuhnya.

Ia mengetikkan nama seseorang, kemudian meneleponnya.

Calling Jimin...

" Maaf, nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi. Your number..-- "

" Sial " umpatnya kemudian. Jimin tak mengangkat panggilan nya. Rose tau, pasti pria itu sengaja tidak mengangkat panggilan darinya.

Rose memijat pangkal hidungnya pelan, mencoba berpikir sejenak. Kemudian ia memutuskan untuk mengirim pesan saja pada Jimin.

Jimin

Kamu pergi kemana?

Jangan pulang terlalu malem

Jangan buat aku khawatir

Dan juga, jangan pergi ke klub.

Pesan terakhir yang ia kirim itu bukan tanpa alasan. Jimin adalah tipe orang yang seperti itu, melampiaskan apapun yang ia rasakan. Jika mereka bertengkar seperti ini, ia pasti akan pergi ke klub. Dan melampiaskan nya dengan 'bermain' dengan perempuan. Dan Rose, sangat tidak menyukai hal itu.

Setengah jam berlalu, dan belum ada tanda-tanda Jimin akan membalas pesan darinya. Mungkin pria itu memang sengaja mengabaikanya. Itu memang sudah biasa jika mereka bertengkar. Hanya saja, masalahnya pertengkaran mereka kali ini berbeda.

Mereka benar-benar bertengkar dengan hebat kali ini. Apalagi Rose membahas hal yang bagi Jimin itu sangat sensitif. Rose sadar ia bodoh dengan menyulut amarah Jimin seperti ini. Hanya saja ia tak tau harus memulai dari mana.

Rose menyandarkan dirinya pada sofa, memejamkan mata begitu lama. Ia menghela nafas panjang, sebelum kemudian membuka room chatnya bersama Jimin lagi.

Ia sedang berpikir, kira-kira apa yang harus ia katakan agar Jimin membalas pesan nya?

Jimin

Kalo hari ini kamu gak pulang, jangan harap kamu bakal nemuin aku ada disini besok.

Aku serius, Jimin.

***

Ada sesuatu dalam diri Rose yang aku mau tunjukkin kekalian secara tersirat dalam chapter ini. Makanya aku cuma buat Rose side. So sorry kalo emang sedikit ngebosenin or maybe sangat ngebosenin. But, hope you enjoy it.

Oh ya, ada yang kepo gak kemaren mereka berantem itu gimana? Heuheu

Next chapter after 50 vote, bubyee💕



OBSESSED [Rose×Jimin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang