Bab 6: Hope Nothing

20.8K 1.8K 14
                                    

"Apa kau sedang menggodaku?"

Aku yang pura- pura tak berdaya di pelukan pria berhati dingin itu tetap memejamkan mata. Walaupun dia mengguncang tubuhku dengan sangat kasar, aku tetap merangkulnya erat. Antara takut dan terlanjur malu, aku tidak bisa melihat wajahnya. Beruntungnya dia tidak melemparku seperti yang dilakukannya padaku sebelumnya.

Apa aku berhasil mengelabuinya?

Tangannya kini menyentuh tengkukku dan berhasil membuatku kaget. Apa yang akan dilakukannya padaku? Tanpa sadar aku membuka mata dan langsung menjauhinya.

Sial, gagal lagi. Aku harus bilang apa?

"Aku tanya apa yang kau lakukan di sini?" ucapnya kemudian, "Apa kau selalu seperti ini pada semua pria?"

Aku seperti melihat kobaran api di mata pria jahat itu. Dia pasti mengira kalau aku adalah wanita murahan yang tidak punya sopan santun. Matilah aku.

"Saya... tersesat! Saya hanya kaget karena Anda muncul tiba-tiba di sini." Akhirnya aku berbicara asal.

"Kau akan mati jika keluar dari wilayah ini."

Dia berbicara tentang sihir yang diberikannya padaku?

"Saya tidak berencana lari. Hanya kebiasaan buruk sebelum tidur, mencari udara segar," jelasku sambil tersenyum masam. Sialnya pria itu terus menatapku sinis.

"Kau di sini bukan untuk bermain-main."

"Saya tahu, di sini saya hanya bisa menunggu Yang Mulia memberi hukuman pada saya."

"Kembali ke kamarmu. Sebelum aku membunuhmu di sini."

Gosh.

Kurasa tidak ada celah kebaikan sedikit pun dari dirinya. Dia tidak sedang ingin membunuhku, tapi aku merasakan ancaman yang begitu besar saat ini.

"Kau... aku benci mengulang kata-kataku."

Dengan cepat tangannya meraih leherku di saat aku masih terpana melihatnya. Aku tahu lambat laun ini akan terjadi.

"Yang... Mulia... tunggu, saya tahu kenapa Anda tidak bisa membaca masa depan saya."

Sebelum kehilangan nafas, aku berusaha memancing perhatiannya. Jika tidak, mungkin aku sudah terkulai lemas karena tangannya yang mulus dan besar itu mampu meremukkan tulangku dalam sekejap mata. Benar saja, dia lalu melepaskanku tanpa permohonan lagi.

Ya, dia pasti penasaran tentang itu, kan?

"Katakan padaku," desaknya, dengan ekspresi datar.

"Sebenarnya... saya memang tidak punya masa depan."

Keningnya yang mulus itu tiba-tiba mengerut.

"Saya... seharusnya sudah Anda bunuh hari itu," lanjutku sambil menundukkan sedikit wajahku.

Dia tidak berkomentar apa pun dan wajahnya kembali serius. Pasti dia mengira aku mengada-ngada. Siapa juga yang percaya dengan ceritaku ini. Aku menatapnya lagi dan mencoba mengatur nafasku yang lama-lama semakin sesak.

The Princess PrisonerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang