Bab 9: Am I in love?

19.4K 1.8K 31
                                    


Seperti biasanya, Catia menyantap makan malamku dan aku hanya meminum jus sayuran yang disediakan olehnya. Malam itu aku terus memikirkan Alfred. Sekarang sepertinya dia sudah menjadi orang penting di Barbaria. Walaupun dia melihatku waktu itu, pasti dia pura-pura tidak mengenaliku. Tentu saja, aku adalah orang yang meninggalkannya dengan alasan dia bukan seorang pangeran. Huh. Aku tidak menyangka bisa melihatnya di tempat ini.

"Nona, bagaimana dengan Yang Mulia Lord?"

"Lord?"

Entah kenapa jantungku tiba-tiba berdegup kencang begitu nama itu disebut. Kenapa Catia menanyakan raja sialan itu?

"Anda akan menemui Yang Mulia malam ini?"

Astaga! Aku baru ingat kalau dia menyuruhku menemuinya. Tidak, aku mau. Nyawaku terancam jika bertemu dengannya. Tapi jika aku tidak menemuinya, apa dia akan mencariku ke sini?

"Tidak, aku sedang tidak enak badan."

Aku bilang begitu pada Catia, tapi nyatanya tiga jam kemudian aku keluar juga dari tower itu. Huft. Aku tidak bisa tidur karena memikirkan ucapan Nox kemarin, bahkan aku terus saja membayangkan wajahnya. Dia seperti menghantuiku.

Ya, ini sudah larut malam, tapi aku tetap keluar dengan mengenakan jubah tebal berwarna cokelat. Aku juga bingung kenapa aku keluar di saat udara dingin sudah menyelimuti Albatraz. Aku berjalan menuju gerbang yang terlihat sepi itu. Ditemani Catia yang terus menggesek kedua tangannya, menahan dingin. Aku menyuruhnya memakai jubah yang sama denganku, tapi dia tidak mendengarku.

"Bukankah Anda bilang tidak akan menemui Yang Mulia? Ini sudah sangat larut, Nona." Catia menghentikan langkahnya. Tepat di tengah gerbang tower yang kutinggali. Nafasnya terlihat mengepul seperti asap, saking dinginnya, padahal setahuku ini belum musim dingin.

"Nona, Anda bisa sakit jika terus berada di luar begini," ucap Catia lagi.

Aku memilih bungkan, memperhatikan sekeliling tempat itu, tidak tampak satu pun kehidupan. Sepertinya ini lebih larut dari kemarin malam saat aku bertemu dengan Nox. Entah kenapa pipiku tiba-tiba basah. Aku mengusapnya dengan jariku yang dingin. Air mata? Aku menangis? Kenapa tiba-tiba aku meneteskan air mata? Dadaku tiba-tiba terasa sesak, seperti sedang sedih, ditinggalkan seseorang.

Apa aku sebegitu inginnya bertemu dengan pria kejam bernama Nox itu? Astaga, ini tidak mungkin!

"Nona, Anda kenapa?"

Catia terlihat panik. Aku menyentuh bibirku dengan telunjukku, memerintahkan dia untuk tidak membuat keributan. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku rela berjalan tengah malam begini. Menangis pula.

"Aku harus bertemu dengannya..." kataku pelan.

Kakiku melangkah tanpa persetujuanku. Aku berbelok dari gerbang tadi dan mulai meninggalkan Catia di sana, tapi dia berusaha mengejarku. Aku mencari-cari sosok pria berambut perak di tengah kegelapan itu. Aku ingat betul semalam di sekitar sini aku bertemu dengannya. Aku berhenti tepat di pertengahan jalur menuju tower utama. Aku menoleh ke arah pohon paling besar di sana. Tidak ada siapa-siapa, tapi aku seperti merasakan ada seseorang di sana. Tanpa berpikir panjang, aku mendekati pohon itu.

Dilihat dari jauh maupun dekat, pohon itu sangat menyeramkan. Kenapa aku baru menyadari keberadaan pohon itu? Tapi entah kenapa aku masih saja mendekatinya. Badanku seperti bergerak sendiri. Aku memandangi puncak pohon itu, lalu memutarinya. Betapa takjubnya aku saat melihat apa yang ada di balik pohon besar itu.

Dari sana terlihat jelas langit malam itu diterangi dengan bulan yang sedikit tertutup awan. Jadi sinar bulan terhalang oleh pohon ini? pantas saja selalu gelap di baliknya. Astaga! Dan apa lagi yang kulihat saat aku menurunkan pandanganku? Aku mendapati Nox sedang duduk bersandar di bawah pohon itu sambil memejamkan mata.

The Princess PrisonerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang