16.43 ; Giggie dan Ice Coffee

413 27 0
                                    

"Jadi kamu hampir ketauan merokok gara-gara pas video call sama ibumu, dia lihat ada rokok dan korek di atas meja?! Bodoh apa gimana sih?!! Hahahaha!!!"

"Iya kan??? Gimana aku ngga lupa nyembunyiin padahal aku abis minum-minum dan belum sober?! Kupikir aku berani banget jawab video call ibu! Untungnya aku ga ngomong aneh-aneh!!"

Begitulah, di setiap cerita keduanya, pasti berakhir dengan cerita konyol Win yang membuat Bright selalu tertawa.

"Ya sudah, sudah, makanya kamu merokok disini mumpung jauh sama ibu," kata Bright mengambil satu batang rokok.

"Nih," Bright usil menaruh ujung rokok pada bibir Win. "I know you want it Win, take it, this time is the only chance."

'Only chance, bener sih..' batin Win.

Win awalnya ragu, namun ia mengambil rokok itu dari tangan Bright.

"Gimana?"

"Iya, sini, Win gamau ngerokok kalo bukan Bright yang nyalain koreknya."

Bright tersenyum, "Nah gitu dong, itu baru Win yang aku kenal."

Win tersenyum, pahit, tapi tidak apa pikirnya, biasanya juga begini.

Bright mematik koreknya, Win mendekatkan wajahnya, menyambarkan rokoknya pada api yang dibuat oleh Bright. Menyesapnya pelan, dan menghembuskan asapnya.

"Woh! Bad boy Win for the world!" Sahut Bright.

Win selalu suka ini.

Memang dirinya munafik di depan keluarganya.

Berpura-pura menjadi anak polos.

Padahal di dunia perantauannya, ia jauh berbeda dari sosoknya di hadapan keluarga.

Namun, memang sempat dia berhenti.

Itulah mengapa dia menahan dirinya untuk tidak menyentuh benda terlarang itu beberapa menit yang lalu.



Namun bukan demi kebaikan dirinya alasannya.



"Hey? Kok jadi melamun?" Bright mengibaskan tangannya di depan muka Win.

"Eh? Ohiya tadi sampai mana?"

"Heh, sampai menertawakan kebodohanmu, eh by the way aku lupa bilang, Giggie, dia sempat nanyain kamu, masih bandel atau engga katanya,"

Win semenjak terdiam.

"Kak Giggie? Apa kabar dia? Gimana kabarnya? Kalian jadi ketemuan waktu itu?"

Win ingat, jelas sekali.

Setelah tahun baru, Bright sempat mengajak ketemuan mereka bertiga, diajak Kak Giggie katanya.

"Ngga awkward kan?" Win bertanya.

Bright terdiam sejenak, terlihat seperti berpikir dan mengingat-ingat sebentar.

"Ngga, kita ketawa-ketawa aja kayak biasanya. Bahkan kita jadi sering ketemuan dan jadi berkali-kali,"

Nyut. 

"Disini, selalu di meja ini."

Nyut.

"Sayang banget dia udah harus ada di London sekarang."

Win tersenyum,

meringis lebih tepatnya,

"Hey, kalian kan masih bisa telfon, video call juga masih bisa? Masih bisa lah saling kontak walaupun jauh?"

Bright menundukkan kepalanya, "Iya sih, tapi akan beda ngga sih? Udah gabisa ketemu dia di kampus?"

Kak Giggie adalah senior sekampus yang dekat sekali dengan Bright dan Win, namun ia lulus semester lalu. Sekarang ia melanjutkan pendidikan master ke London, maka dari itu akan sulit untuk ketiganya untuk bertemu face to face.

"Coba waktu itu kamu ikut Win? Pasti Kak Giggie bakal seneng,"

Win masih tersenyum, "Maaf banget Bright, waktu itu aku masih jet-lag dan orangtuaku belum ngebolehin aku ke Bangkok."

Bright tersenyum, "Ya, mau gimana lagi.."

Keduanya bertatapan sekarang, "Aku juga sempet ragu buat ajak kamu atau engga, tapi yah akhirnya kamu ga ikut, jadi..."

Deg.

Win mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Duh panas banget ya apa aku pesen ice coffee lagi?"

"Kak Giggie juga suka banget sama ice coffee disini."

Deg.

Win menatap Bright dan dia masih melihat Win dengan air muka yang sama.







"Aneh kenapa kalian berdua suka ice coffee yang sama,

karena biasanya kalian ngga suka ice coffee.

Mas! Mau ice coffee satu lagi ya!"






Win sedikit menundukkan kepalanya, sesungguhnya batinnya menjerit.

Mengingat Giggie, salah satu alasan Win memutuskan untuk mengungkapkan suatu hal pada Bright tahun lalu.

Namun, untungnya Bright menoleransi hal itu.

Dan tetap ingin berteman dengan Win.

Namun Win?

Entah apa yang ia rasa.

Selalu ada cubitan kecil di hatinya saat nama 'Giggie' keluar dari mulut Bright.

"Gimana Win? Abis minum ice coffee, mau langsung pulang? Kamu bilang harus pulang jam 4 kan?"

Win masih berusaha untuk fokus.

"O-oh? Ya? Hmm sebenernya aku masih pengen beli sesuatu disini sih, Bright gimana? Udah harus pulang ya?"

Cahaya langit di kota Bangkok itu memang sudah semakin menguning, menandakan si mentari mulai menuju cakrawala.

Bright mengecek arlojinya. Mengira-ngira waktu yang harus ditetapkan.

"Sebenernya aku bisa sampai kapan aja sih Win, ada janji sebenarnya, tapi.. ayo aku bisa temenin kamu belanja dulu."

"Wah? Gapapa? Makasih banget Bright!"

"Mau beli apa emangnya?"

"Hehehehe, yoghurt!"









★彡

last chance | brightwin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang