Kematian Yasugei

159 15 0
                                    

Pada saat Temujin sampai di perkemahan keluarganya, ayahnya sudah meninggal. Yesugei, ayah Temujin, meninggalkan dua istri dan tujuh anak yang usianya di bawah sepuluh tahun. Pada saat itu, keluarga Yesugei masih tinggal di sepanjang Sungai Onon bersama dengan keluarga Tayichiud. Selama tiga generasi terakhir, keluarga Tayichiud telah mendominasi suku Borjigin. Tanpa Yesugei yang biasa membantu mereka untuk berperang dan berburu, keluarga Tayichiud memutuskan untuk melepaskan ikatan dengan istri dan anak Yesugei. Di lingkungan keras Sungai Onon, mereka merasa tidak mungkin sanggup untuk memberi makan sembilan orang tambahan.

Berdasarkan tradisi masyarakat padang rumput Mongolia, salah satu saudara laki-laki Yesugei, yang dulu telah membantu menculik Hoelun, seharusnya menjadikannya sebagai seorang istri. Selain itu, di bawah sistem pernikahan Mongol, bahkan salah satu putra Yesugei dari istrinya yang lain pun berhak untuk menikahi Hoelun, asalkan sudah cukup umur. Wanita Mongol sering kali menikah dengan pria yang jauh lebih muda yang berasal dari keluarga almarhum suami mereka. Dari sudut pandang pria yang lebih muda, hal itu juga bukannya tanpa alasan, karena sesungguhnya mereka bisa mendapatkan kesempatan menikah tanpa mesti memenuhi syarat-syarat yang rumit dan memberatkan seperti memberikan hadiah-hadiah dan menjalani hidup dan bekerja di bawah calon mertua selama bertahun-tahun sebelum pernikahan.

Ketika ditinggal mati Yesugei, Hoelun masih muda, mungkin usianya sekitar 25 tahun. Sebagai istri dari hasil penculikan yang jauh dari lingkungan keluarga asalnya, yang kini telah menjadi janda, Hoelun sebenarnya adalah tawaran yang menarik. Sebab dia sudah memiliki harta benda untuk berumah tangga dan dengan pengalamannya dia dapat memberikan manfaat kehidupan berkeluarga yang besar bagi pria muda hijau yang berniat menikahinya. Meski demikian, pria-pria muda tersebut tidak ada yang mau menikahi Hoelun. Bukannya dia tidak menarik, tapi bagi mereka, untuk menghidupi lima orang anak sangatlah berat.

Dengan suaminya yang telah meninggal dan tidak ada lelaki lain yang mau menikahinya, Hoelun sekarang sudah dianggap seperti orang luar oleh sukunya, dan tidak ada seorangpun yang merasa berkewajiban untuk membantunya. Orang Mongol terbiasa menyampaikan sebuah pesan dengan simbol-simbol tertentu, dan dalam kasus ini, melalui makanan. Ketika sesepuh suku, yakni dua janda tua peninggalan Khan sebelumnya, menyelenggarakan upacara tahunan dan perjamuan untuk menghormati leluhur, Hoelun tidak diundang.

Dengan tidak diundang, dan tentunya sekaligus tidak menikmati perjamuan makanan, maka semuanya sudah jelas, mereka telah memutuskan ikatannya dengan Hoelun. Kini dia mesti berjuang sendirian untuk mencari makan dan melindungi anak-anaknya. Ketika seluruh anggota suku bersiap untuk bergerak menyusuri Sungai Onon menuju lahan musim panas, mereka berencana untuk meninggalkan Hoelun dan anak-anaknya.

Menurut dokumen Sejarah Rahasia Bangsa Mongol, ketika rombongan mulai bergerak, meninggalkan dua wanita janda, dan tujuh anak yatim (istri-istri dan anak-anak Yesugei), hanya seorang laki-laki tua dari keluarga yang tidak berpengaruh yang mengajukan protes keras atas tindakan mereka. Dalam sebuah insiden yang tampaknya meninggalkan kesan mendalam bagi Temujin, salah satu prajurit Tayichiud berteriak kepada laki-laki tua itu, mengatakan bahwa dia tidak punya hak untuk mengkritik mereka, dia berbalik, dan menombak orang tua itu sampai mati. Setelah melihat kejadian ini, Temujin, seorang bocah lelaki yang tidak lebih dari sepuluh tahun, dikatakan telah berlari untuk mencoba membantu lelaki tua yang sekarat itu; tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa, dia hanya menangis tersedu-sedu dan marah.

Hoelun, yang berpikiran jernih, sebagaimana telah dia tunjukkan ketika pertama kali diculik, menunjukkan tekad dan kekuatan yang sama dalam krisis baru ini. Dia melakukan upaya terakhirnya yang keras untuk menantang dan mempermalukan keluarga Tayichiud. Ketika rombongan meninggalkan perkemahan mereka, Hoelun mengambil bendera kecil berhiaskan bulu kuda yang menjadi lambang roh dari suaminya, menaiki kudanya, dan mengejar mereka. Hoelun mengangkat bendera itu di atas kepalanya, dengan marah mengibas-ngibaskannya di udara, dan berderap dengan kudanya mengitari rombongan yang hendak pergi.

Tindakannya itu merupakan sebuah pesan, bahwa roh Yesugei akan terus mengiringi mereka ke mana pun mereka pergi. Rombongan merasa benar-benar malu terhadap roh Yesugei – setidaknya dalam keyakinan mereka, dan takut akan kemungkinan adanya pembalasan ghaib. Untuk sementara mereka memutuskan untuk tidak jadi pergi. Mereka kemudian menunggu malam tiba dan, satu per satu, menyelinap pergi, membawa serta hewan-hewan dan keluarganya. Sambil pergi, mereka juga mengutuk, berharap pada musim dingin yang akan datang, kedua janda dan tujuh anak-anak itu segera menghadapi kematian.

Namun keluarga itu tidak mati. Dalam upaya monumental, Hoelun menyelamatkan mereka, bahkan termasuk istri pertama Yesugei dan anak-anaknya. Seperti yang tercatat dalam dokumen Sejarah Rahasia Bangsa Mongol, dia melindungi kepalanya dari keganasan cuaca, menggulung roknya, dan berlari naik turun sungai untuk mencari makanan. Dia melakukannya siang dan malam untuk memberi makan kelima anaknya yang kelaparan. Dia menemukan buah-buahan kecil, dan menggunakan tongkat dari kayu Mahogani untuk menggali akar tanaman yang tumbuh di sepanjang sungai.

Untuk membantu keluarganya, Temujin membuat panah kayu berujung tulang yang ditajamkan untuk berburu tikus di padang rumput, dan dia membengkokkan jarum jahit ibunya untuk dijadikan kail pancing. Seiring bertambahnya usia anak-anak, kemampuan berburu mereka menjadi semakin baik, dan mereka mulai berani berburu hewan-hewan yang lebih besar.

Dalam catatan sejarawan Persia, Juvaini, yang mengunjungi bangsa Mongol lima puluh tahun kemudian, dia menulis catatan sejarah pertama oleh orang asing tentang kehidupan Temujin – yang kelak akan menjadi Genghis Khan. Dia berkata bahwa keluarga itu mengenakan pakaian yang terbuat dari “kulit anjing dan tikus, dan makanan mereka adalah daging dari hewan-hewan itu dan benda-benda mati lainnya.” Entah penggambaran itu akurat atau tidak, tetapi yang jelas Juvaini berusaha menunjukkan bahwa Temujin dan keluarganya berada dalam kondisi yang memprihatinkan, terbuang dari lingkungan sosialnya, kelaparan, dan hidup hampir seperti binatang. Di tanah yang alamnya keras, mereka telah jatuh ke tingkat kehidupan terendah di padang rumput Mongolia.

MongolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang