Menyerang Jurchen Jin 6

57 11 0
                                    

Bagi orang Mongol, gaya hidup petani yang mereka temui di China sulit untuk dipahami. Wilayah Dinasti Jurchen Jin dipenuhi dengan begitu banyak orang dan sangat sedikit hewan; ini sangat kontras dengan Mongolia, di mana biasanya jumlah manusia dengan hewan satu berbanding lima atau sepuluh. Bangsa Mongol melihat bahwa sumber makanan petani hanyalah sayur-sayuran, buah-buahan, atau biji-bijian, dan menurut mereka, petani lebih mirip dengan hewan yang digembalakan, tidak seperti manusia yang seharusnya memakan daging.

Bangsa Mongol menyebut orang-orang pemakan dedaunan ini dengan terminologi yang sama dengan yang mereka gunakan untuk sapi dan kambing. Populasi petani begitu banyak, dan ketika para prajurit hendak mengumpulkan atau mengatur mereka, mereka melakukannya dengan terminologi, perlakuan, dan emosi yang sama ketika mereka hendak menggiring yak atau sapi.

Kelompok tentara tradisional pada umumnya pada masa itu seringkali memperlakukan desa sebagai sebagai sumber daya untuk dijarah, dan menganggap para petani sebagai orang-orang rendah yang boleh diperkosa, dibunuh, atau disingkarkan dengan cara apa pun seenaknya. Sebaliknya, orang-orang Mongol, yang jumlahnya selalu lebih kecil dibandingkan dengan jumlah orang di tempat mereka menyerang, menggunakan sejumlah besar populasi itu justru untuk kepentingan strategis.

 Sebaliknya, orang-orang Mongol, yang jumlahnya selalu lebih kecil dibandingkan dengan jumlah orang di tempat mereka menyerang, menggunakan sejumlah besar populasi itu justru untuk kepentingan strategis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Para prajurit Mongol memodifikasi strategi tradisional padang rumput untuk menggiring para petani supaya berkumpul dalam satu area. Para prajurit Mongol dibagi menjadi unit-unit kecil untuk menyerang desa-desa yang tidak memiliki pertahanan, membakar rumah-rumah, dan mengusir penduduknya agar keluar rumah. Mereka lalu digiring ke satu area dan di sana mereka dipanahi agar berlarian. Para petani yang ketakutan lari ke segala arah, namun pasukan Mongol terus menggiring arah lari mereka menuju ke arah kota.

Sebelum pasukan Jurchen sempat memahami situasi, lautan manusia yang panik tersebut sudah berlarian dan membanjiri kota, sehingga menciptakan kebingungan besar. Orang-orang ini menyumbat jalanan sehingga menyulitkan pasukan Jurchen untuk bergerak dan mengendalikan situasi. Dalam penyerangan ini, dilaporkan lebih dari satu juta penduduk pedesaan melarikan diri dan mengalir masuk ke dalam area kota; di dalamnya, mereka memakan banyak sekali persediaan makanan, dan menyebabkan kekacauan ke mana pun mereka pergi.

Alih-alih menyerang secara langsung, pasukan Mongol memanfaatkan para petani yang panik sebagai perisai hidup dan sebagai pendobrak gerbang kota. Orang-orang Mongol tidak terlalu peduli dengan hilangnya nyawa para petani itu selama itu dapat melindungi diri mereka sendiri. Ketika para petani tersebut banyak yang berjatuhan dan tewas, tubuh mereka membantu mengisi parit dan membentuk jalur di atas lubang dan struktur pertahanan yang dibuat oleh musuh. Sementara itu, para petani yang berhasil masuk ke dalam kota terperangkap di dalamnya bersama penduduk kota.

Dengan kebutuhan logistik dari luar terputus, pasukan Jurchen dengan rakyatnya menderita kelaparan, dan sebagai akibatnya, dari satu kota ke kota lainnya bermunculan penjarahan, perampokan, dan kanibalisme. Ketidakpuasan tumbuh, baik penduduk kota maupun para petani melakukan pemberontakan terhadap para pejabat Jurchen, yang menurut mereka terbukti tidak mampu melindungi, memberi makan, atau mengelola sejumlah besar pengungsi. Dalam kondisi pemberontakan terburuk seperti itu, pasukan Jurchen akhirnya membunuh sekitar tiga puluh ribu petani mereka sendiri.

Berbeda dengan pasukan infanteri besar yang bergerak lambat dan bertempur secara sistematis di sepanjang front atau medan perang tertentu, bangsa Mongol mempraktikkan peperangan di seluruh tempat di mana di sana terdapat celah. Di tengah kekacauan dan kebingungan yang terjadi selanjutnya, bangsa Mongol mendapatkan peluang yang lebih besar untuk menggunakan segala tipu dayanya yang cerdik.

Dalam salah satu episode perang panjang melawan Jurchen, pasukan Mongol berhasil menangkap konvoi perwira dengan pasukan Jurchen yang memiliki misi untuk membebaskan kota Dading yang terkepung. Salah satu prajurit Mongol kemudian menyamar, mengenakan pakaian perwira tersebut, mengambil dokumen resminya, dan melanjutkan perjalanan ke dalam kota. Sementara itu, pasukan Mongol yang berada di luar kota meninggalkan pengepungannya dan membubarkan diri.

Begitu berada di dalam kota, orang Mongol yang menyamar itu membodohi pejabat setempat, mengatakan bahwa dia dan pasukannya baru saja mengalahkan orang-orang Mongol, dan dia bisa melihat sendiri pasukan Mongol sisanya yang berada di luar telah melarikan diri, dia percaya. Pasukan Jurchen yang berada di dalam kota kemudian mulai ditarik secara perlahan, dan pertahanan mereka yang kuat telah mengendur. Beberapa minggu kemudian si penyamar mengirim kabar kepada pasukan Mongol, bahwa pasukan pertahanan kota telah ditarik. Mendengar kabar itu, pasukan Mongol kembali dan menyerbu bagaikan kilat, mereka dengan mudah merebut kota itu.

Bangsa Mongol tidak hanya mengambil keuntungan dari tipu daya semacam itu, tetapi dalam penggunaan propaganda mereka yang tanpa henti, mereka menyebarkan cerita-cerita fiktif untuk memicu kecemasan dan ketakutan di antara musuh. Dalam salah satu kisah apokrif yang beredar untuk menciptakan kegelisahan di antara musuh, orang-orang Mongol konon berjanji untuk mundur dari kota yang dikepung jika para pembela Jurchen akan memberi mereka sejumlah besar kucing dan burung sebagai barang rampasan.

Menurut cerita, penduduk yang kelaparan dengan bersemangat mengumpulkan binatang-binatang itu dan memberikannya kepada pasukan Mongol. Setelah menerima semua burung dan hewan, orang-orang Mongol mengikatkan obor yang menyala di ekor mereka dan melepaskan mereka, di mana hewan-hewan yang ketakutan tersebut berlarian kembali ke dalam kota dan membakarnya. Kisah ini telah menyuntikan sejumlah dosis dramatis dalam seni propaganda perang dan mempengaruhi psikologi musuh.

MongolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang