Meski para sejarawan bersilang pendapat mengenai bukti-bukti keterlibatan Khalifah Abbasiyah al-Nasir dalam serangan Kekaisaran Mongol terhadap Kesultanan Khwarizmia, namun fakta-fakta sejarah lainnya ternyata dapat memperkuat hipothesis tersebut. Dua dekade kemudian di dunia Kristen Eropa, Kaisar Suci Romawi, Frederick II, diketahui telah merekrut orang-orang Mongol untuk melawan Paus. Artinya ini menunjukkan, bahwa bangsa Mongol bisa saja menerima pekerjaan sebagai pasukan bayaran.
Dengan cara yang hampir sama, Khwarazmshah Atsiz, Shah/Sultan ke-2 Kesultanan Khwarizmia, yang merupakan leluhur Sultan Muhammad II, juga dikabarkan telah meminta Kerajaan Kara Khitan untuk melawan Kesultanan Seljuk, yakni Sultan Sanjar. Kesultanan Khwarizmia yang tadinya merupakan negara bawahan (vassal state) Kesultanan Seljuk, dengan kalahnya Seljuk oleh Kara Khitan, maka berhasil menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri.
Fakta lainnya, al-Nasir juga diketahui pernah menghasut Guculuk Khan, kaisar terakhir Kara Khitan yang beragama Kristen, untuk menyerang Khwarizmia ketika masih dipimpin oleh Ala ad-Din Tekish (ayah Muhammad II), dan itu masih berlanjut hingga Muhammad II naik takhta. Ala ad-Din Tekish pada waktu itu mengklaim, bahwa dia telah menemukan surat-surat al-Nasir yang ditujukan untuk penguasa Kara Khitan. Untuk berkomunikasi dengan Guculuk Khan, al-Nasir mempekerjakan Yahbalaha II, seorang Katolik Nestorian. Namun karena akhirnya Kara Khitan ditumbangkan oleh Genghis Khan, maka misi untuk menggulingkan Khwarizmia dilanjutkan oleh Mongol.
Namun lebih dari itu semua, sejarawan Ibnu al- Athir, orang pertama yang menuliskan tentang keterlibatan al-Nasir dalam penyerangan Mongol ke Khwarizmia, oleh al-Nasir sendiri, pada faktanya telah diberi kepercayaan untuk menulis di Timur Dekat sekitar satu generasi kemudian. Meskipun untuk kali ini tampaknya Ibnu al- Athir cukup malu untuk mengulang tuduhannya terhadap al-Nasir.
Demikianlah, jika tuduhan Ibnu al- Athir kita asumsikan benar, Sultan Muhammad II yang bermasalah dengan Khalifah Abbasiyah, dan juga berseteru dengan tetangga-tetangga Muslim lainnya, juga menghadapi banyak persoalan di lingkungan keluarganya sendiri. Sultan Muhammad II, sebagaimana digambarkan oleh Juvaini, terus-menerus mengalami perselisihan dengan ibunya sendiri, Terken Khatun. Terken Khatun, sepeninggal suaminya, Sultan Ala ad-Din Tekish, memegang kekuasaan yang sama besarnya dengan Sultan Muhammad II. Di dalam tubuh kesultanan, dia juga banyak memegang tokoh-tokoh kunci yang lebih setia kepadanya ketimbang terhadap Muhammad II.
Awal mula konflik antara Genghis Khan dengan Sultan Muhammad II, dipicu oleh dieksekusinya utusan Mongol oleh Inalchuq, Gubernur Otrar, yang masih kerabat Terken Khatun. Muhammad II tadinya berniat memenuhi permintaan Genghis Khan untuk menghukum Inalchuq, yang dengan cara itu sebenarnya dapat menghindari peperangan. Tetapi karena ibunya menolak ide tersebut, maka eskalasi konflik dengan Genghis Khan malah semakin meningkat. Dan di tengah ancaman serangan Mongol yang semakin meningkat, ibu dan anak ini tidak pernah akur dalam segala hal, mulai dari cara menjalankan kekaisaran sampai persiapan untuk perang.
Selain persoalan keluarga, penduduk Khwarizmia yang kebanyakan merupakan orang-orang Persia dan Tajik, tidak pernah mencintai penguasa mereka. Terlebih, dalam kesehariannya, para prajurit Turki yang ditempatkan di kota-kota, ketimbang melindungi, lebih banyak mengeksplotasi penduduk. Pada gilirannya, ketika Mongol menyerang, para prajurit Turki yang tidak memiliki ikatan dengan penduduk, tidak memiliki semangat untuk melindungi mereka, dan mereka hanya menunjukkan sedikit kecenderungan untuk mempertaruhkan hidup mereka demi menyelamatkan penduduk yang mereka benci.
Ketika Genghis Khan menyerang kota-kota di Khwarizmia, dia membawa sekitar 100.000-125.000 pasukan penunggang kuda, ditambah dengan orang-orang suku Uighur dan sekutu-sekutu suku Turki, sekelompok dokter China, dan para insinyur pembangun senjata penakluk benteng yang jumlah totalnya mencapai 150.000-200.000 orang. Sebagai perbandingan, penguasa Khwarizmia memiliki sekitar 400.000 pasukan yang tersebar di berbagai wilayahnya, dan mereka memiliki keuntungan karena bertempur di wilayah mereka sendiri.
Sebagaimana telah dibahas dalam artikel-artikel sebelumnya, pasukan Mongol dapat dengan mudah menaklukkan kota-kota Khwarizmia. Sang Sultan sendiri, ketika pasukan Mongol menyerang Samarkand, melarikan diri. Di bawah kejaran pasukan Mongol yang tidak mengenal lelah, Sultan Muhammad II akhirnya terbaring, terlantar, dan meninggal di sebuah pulau kecil di Laut Kaspia, tempat dia mencari perlindungan. Fakta Sultan Muhammad II yang tidak lari dan meminta perlindungan terhadap Abbasiyah, semakin menguatkan hipothesis di atas, bahwa mereka memang memiliki hubungan yang bermasalah. Takhta Sultan Khwarizmia kemudian diserahkan kepada putranya, Jalal ad-Din Mingburnu. Perang masih belum berakhir, kisah tentang perlawanan Mingburnu akan diceritakan kemudian.
Terken Khatun, wanita terkuat dalam Kesultanan Khwarizmia, mendapat perlakuan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang Mongol terhadap wanita bangsawan aristokrat. Pasukan Mongol membunuh sebagian besar anggota istana dan sekitar dua lusin anggota keluarganya. Terken Khatun kemudian dibawa pulang ke Mongolia, di mana dia menjalani dekade sisa hidupnya sebagai orang biasa. Dia tidak mendapatkan hak-hak istimewa atau pertimbangan khusus berdasarkan kelahirannya. Dia, seperti kebanyakan tawanan-tawanan lainnya, dinilai hanya berdasarkan keterampilan, pekerjaan, dan pengabdiannya terhadap kekaisaran Mongol. Dan lambat laun, Terken Khatun menghilang ditelan sejarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mongol
Non-FictionBangsa Mongol adalah salah satu bangsa yang pernah menjadi penguasa Dunia. Kekuasaan yang membentang dari Semenanjung korea di timur hingga Kota Moscow di barat menjadi bukti kebesaran Kekaisaran Mongol. Pada Artikel kali ini saya akan membahas seja...