Mata mereka akhirnya bertemu, Sai terdiam melihat Ino, begitupun sebaliknya, namun gadis pirang itu terlihat dengan senyuman tipis di sudut bibirnya.
--
“Ino, kamu sangat menyukai piano, iyakan?” Ino terdiam sesaat setelah sang ayah memberikan pertanyaan.
“tentu saja” kemudian melanjutkan.
“Pada awalnya aku tidak menyukainya, tapi kemudian aku sangat menyukainya karena aku sering memainkannya” Ino masih berjalan beriringan bersama sang Ayah menikmati waktu sore hari di Jerman.
“Jadi permainan seperti apa yang benar benar kamu sukai?”
“Kenyata’annya hanya piano yang saya miliki, melihat bagaimana itu adalah bakat satu satunya yang saya miliki Dan selalu saya mainkan setiap hari, bagaimana mungkin aku tidak menyukainya” Inoichi terhenti mendengar penuturan putrinya.
“Apa kamu berpikir bahwa didikan yang selama ini ayah ajarkan padamu itu salah? Jika bukan karena Ayah , kamu tidak mungkin bisa menjadi pianist terkenal dan sehebat seperti sekarang ini!” Inoichi berbicara dengan nada tegas. Seolah ia memang benar telah mendidik anaknya dengan sangat baik.
“Ya Ayah” Jawab Ino ia menunduk seraya mengepalkan tangannya. Ia kesal.
--
“Mimpimu Akan segera menjadi kenyata’an Yamanaka Ino” ucap Ino dalam hati, ia masih menatap pemuda pucat yang sedari tadi juga terdiam menatapnya.
“Sekarang adalah giliranku” ucap Ino lantang dihadapan Sai.
“heh…? Siapa kamu?” Sai masih menatap Ino tajam. Sesa’at mereka saling menatap.
“YA! ADA APA INI! MENGAPA KAMU MEMBUAT KERIBUTAN DISINI!?!” seorang petugas keamanan beserta dua orang dokter datang menghampiri Sai.
“KAMU PRIA GILA ATAU APA? MENGAPA MEMBUAT KERIBUTAN DI RUMAH SAKIT INI!” petugas itu masih memarahi Sai. Bagaimana tidak , disiang bolong seperti ini suara keras yang berasal dari alat music yang Sai mainkan tadi pasti membuat pasien lain terganggu. Sementara itu dokter Asuma hanya bisa menggelengkan kepalanya.
-
“INO! APA YANG KAMU LAKUKAN DILUAR SINI! CEPAT MASUK DILUAR SANGAT PANAS, ITU TIDAK BAIK UNTUKMU!” Ino menengok Dan melihat ibunya marah kemudian menarik tangan Ino menyuruhnya masuk kembali ke dalam rumah sakit.
“Bu..” ucap Ino lembut menghentikan ibunya.
“heh..?” Noriko berhenti kemudian melihat tangan Ino yang memegang pundaknya tanpa bergetar .
“Ibu… lihatlah!” Ino memperlihatkan tangannya yang berhenti bergetar pada Ibunya. Sementara sang ibu hanya terdiam terpaku .
“I..INO..! APA YANG TERJADI NAK? BAGAIMANA BISA… TANGANMU BISA NORMAL KEMBALI.. ” Noriko memegang tangan putrinya, ia hampir menangis.
“Ibu, itu sebabnya Saya kemari . Saya akan mencari tahu” Ino tersenyum kemudian melirik kebelakang melihat Sai.
--
“ Kenapa kau melakukan hal seperti ini disini Shimura Sai, ini sudah keterlaluan” Sai hanya menghela nafas, ia melihat dua orang dokter dihadapannya.
“Sai, Kamu tidak ingat siapa saya, iyakan?”
“ Apa gunanya mengingat anda? Yeah, Saya tidak tahu siapa anda dokter, tapi saya yakin anda adalah seorang yang tahu segalanya tentangku, iyakan?” Sai mencabut kabel gitarnya dari speaker ia seolah tidak peduli dengan tatapan dokter didepannya.
“Pak dokter, Saya hanya merasa sangat gelisah, dan saya hanya melampiaskannya sedikit dengan cara bernyanyi seperti ini , maaf jika menurut kalian ini berlebihan. Tapi dokter, asal kalian tahu, saya hanya seorang pria sekarat yang hampir mati, jadi jika kalian mau menghukumku, tolong beri saya sedikit keringanan” Asuma hanya menghela nafas.
“ Sai apa kau masih mengonsumsi obat yang saya berikan? Bukankah saya pernah bilang untuk berhenti menghamburkan uang pada hal hal yang kamu tidak butuhkan. dan fokuskan pada pengobatanmu supaya ingatanmu tidak kabur sehingga...” belum sempat asuma selesai bicara, Sai malah menghela nafas dan tersenyum menanggapi ucapan Dokter didepannya itu.
“tsich! menghamburkan uang? Hei pak Dokter! Apa dokter pikir saya terlihat seperti orang yang bisa menghambur hamburkan uang untuk hal tidak berguna?” Sai terlihat marah Dan menatap Asuma.
“apakah dia seorang yang kamu kenal? Apa ada yang salah dengan kepalanya?” Kakashi yang sedari tadi diam kini berbicara pada rekan kerjanya.
“Tumor otak. Dia sebelumnya adalah pasien yang pernah dirawat di rumah sakit ini”
“jadi dia pasien mu?” Asuma menghela nafas dan mengiyakan.
“Di depan seorang pasien yang hampir mati, mengapa dokter mengatakan hal seperti itu?” Sai selangkah lebih maju mendekati Asuma.
“Tidak meminum obat? Apa kalau saya meminum obat itu membuat tumor di kepala saya hilang? Atau anda hanya pura pura peduli Dan meresepkan obat penghilang rasa sakit saja pada saya? meminum obat akan mengurangi rasa sakit, iyakan ? Dokter jangan khawatir, saat itu saya benar benar mengonsumsi obat itu sesuai resep yang anda berikan! Saya mencoba menahan rasa sakit itu dengan bantuan obat sialan itu! Supaya bisa membantu saya mengingat music dan menulis lyric lagu yang saya ciptakan! TETAPI TUMOR! TUMOR SIALAN YANG ADA DI KEPALA SAYA INI TERUS MENEKAN SAYA!” wajah Sai memerah. Entah kenapa ia sangat marah.
“Terkadang mata saya tidak bisa melihat dengan jelas ! dan sesekali ketika saya bangun tidur kaki saya seperti terbakar sehingga saya sulit berjalan!” Sai kini mencoba mengontrol emosinya.
“Saya tidak menyalahkan dokter, saya hanya marah kenapa semuanya tidak adil!” kali ini ia menunduk. Ia menangis.
“RUMAH SAKIT SEBESAR INI SEHARUSNYA MENJADI TEMPAT UNTUK ORANG ORANG YANG INGIN HIDUPNYA DISELAMATKAN DAN BUTUH PERTOLONGAN! LALU APAKAH ANDA AKAN MENYELAMATKAN ORANG SEPERTI KAMI YANG TIDAK MEMPUNYAI UANG! APAKAH RUMAH SAKIT INI HAHYA LAYAK UNTUK ORANG YANG MEMPUNYAI BANYAK UANG?!”Sai kembali berteriak seperti orang kurang waras sambil menunjuk rumah sakit dihadapannya.
“Menghamburkan uang? Apakah seorang pria pencuci piring yang hanya bisa membeli makan sehari hari bisa menghamburkan uang? Cih! Lucu sekali!” Sai kini berbalik menghapus air matanya serta mengambil gitar dan peralatan yang tadi membuat gaduh rumah sakit. Ia tidak peduli lagi apa yang barisan ia katakan tadi, tapi setidaknya perasaannya sedikit lega.
“Aish sial kenapa aku menangis! Memalukan! Saya mungkin akan segera mati tapi saya masih punya martabat untuk tidak mengemis di selamatkan oleh orang orang seperti kalian!” Sai berjalan meninggalkan mereka.
“Hei berhenti!” Suara itu menghentikan Sai.
“ Aku akan membayar semua itu!”
“Hah” Sai terheran melihat gadis pirang yang medekatinya.
“Saya akan membayar semua biaya perawatanmu” Ino dengan lantang dan percaya diri berbicara dihadapan Sai.
“Memangnya kamu siapa? Orang yang bahkan tidak pernah saya lihat sebelumnya?!” Sai menatap intens gadis dihadapannya itu.
“siapa saya?” ucap Ino sedikit tersenyum.
“hey, Shimura Sai? Justru saya yang ingin bertanya padamu? Sebenarnya siapa kamu?” Mata mereka sekali lagi bertemu, kini mereka benar benar saling bertatapan sekarang.
--to be continue?--
.
.
.
.24.05,2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamond Dust
RomansaTangan wanita pirang itu selalu bergetar tak terkendali . Sementara langkah kakinya masih mengikuti seorang dihadapannya, pria yang membawa sebuah gitar di punggungnya, ia bahkan tidak mengenal dengan jelas siapa pria itu tapi hati dan perasaannya...