1

10.3K 686 208
                                    


Dahulu kala, sewaktu macan masih memegang linting rokok. Di dalam tenang dan lebatnya hutan bambu, sekitar nyaris 70 tahun lamanya gendang-gendang dari kulit sapi kualitas terbaik bertabuh riuh.

Pertanda penting bahwa Raja Penguasa abad Dinasti Min turun dari tahta. Bersama prajurit yang mengangkat tandu, mereka sedang melintasi hilir pegunungan Shiryeokdo.

Warga biasa seperti dayang, para tabib dan pedagang buah harap-harap cemas, menutup tabir dan memaku pintu rapat-rapat.

Raja berwajah bengis, mental sekeras lumbung besi, ratapan selayak samurai. Berada di dekatnya, jantung selalu berpacu cepat. Harum tubuhnya mengingatkan pada anyir daging di pasar pagi yang baru ditebas.

"Hei! Kau tidak mengindahkan peringatan dari Kerajaan hah? Kenapa nekat berkeliaran di jalanan?"

Prajurit kepercayaan Raja Min mengancungkan golok.

Wanita tua berkisar 80 tahun mengunjukkan raut ketakutan, cemas sekaligus gelisah.

Raut wajah gemetaran tertangkap basah.

Sudah sepatutnya tidak diizinkan satu rakyat untuk keluar rumah selama tiga hari penuh sewaktu tandu Raja melintasi desa.

Dan, nenek ini melanggar.

"Mohon ampunan dari Yang Mulia Min. Cucu laki-lakiku satu-satunya terkena demam tinggi. Saya hendak mendaki gunung untuk memetik ginseng sebagai obat kemudian pulang."

Lansia itu bersujud sambil memohon dan menangis.

Min Daejeong.

Nama pria muda yang diagungkan pada dinasti itu.

Min Daejeong menyeringai keji, menukik tajam. "Aku tidak peduli tuh. Baik dari kalangan bangsawan atau kaum jelata, termasuk orang muda maupun tua. Aturan tetaplah aturan."

Daejeong melirik prajuritnya datar, "Bawa kepalanya di atas bukit pita Gocheon."

Titah mutlak dari Sang Raja yang tidak bisa dibantah.

Nenek itu memberontak jelas, "Aniseumnida, pyeha! Aku tidak bisa diberlakukan begini! Aturan itu tumpang tindih. Cucuku sedang sakit, dia menungguku! Bebaskan aku satu kali ini saja!"

Dia meraung minta pengampunan, "Tolong kasihani aku. Kumohon Yang Mulia. Bukannya sebagai pemimpin negara yang baik harus berlaku adil atas rasa empatinya terhadap lansia sepertiku?"

"Tidak." kata Daejeong kukuh, "Sejak awal aku benci dengan orang rendahan tidak punya akal yang mengharap minta belas kasihan."

Nenek tua itu kepalang emosi, mencengkram kerah hanbok yang dikenakan Raja.

"Bagaimana bisa kau bilang begitu! Kubilang cucuku sedang sakit dan dia tidak punya sanak saudara atau orang tua. Dia hanya punya aku!"

Daejeong melotot murka dalam tegang, menamparnya hingga jatuh terjengkang. "Dasar lancang!"

Diarahkan jari telunjuk ke nenek tua itu hina, "Kau dan cucumu dilahirkan gagal. Bila tidak terima dengan keputusanku, silahkan protes pada leluhurmu. Salahi leluhurmu dari yang paling awal kenapa kalian terlahir miskin."

Nenek itu mencial marah, sedetikpun tidak berkedip sampai uratnya berkumpul.

Tirai tandu tertutup kembali bersamaan dengan terpisahnya kepala wanita itu dengan leher.

Darah memercik deras bagai aliran air terjun.

Nenek tua itu terkena hukuman penggal atas tindakannya detik itu juga tanpa pertimbangan.

.

.

.

Raungan pilu memenuhi seisi bukit Gocheon.

DAECHWITA | YOONTAETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang