"Antarkan aku pulang. Aku lelah." Ujar Minghao akhirnya.
Mingyu memandangnya sebentar, sebelum menyalakan mesin dan melajukan mobil dalam diam. Berusaha fokus pada jalan dan coba tak mengindahkan ngilu di balik dadanya yang membuat tercekat. Begitu pula Minghao yang sepertinya sudah tertidur di sampingnya, ia usaha abaikan.
Minghao terbangun dengan sendirinya saat mobil mereka memasuki area parkir, mengecek ponselnya singkat sebelum cepat-cepat membuka pintu dan turun ketika mobil telah berhenti sempurna.
Mingyu mendesah. Ia menyandarkan kepala pada setir beberapa saat sebelum mengambil napas banyak-banyak, menyusul Minghao yang menunggunya dengan bersender di mobil, mengamati bagaimana napasnya terlihat seperti kabut putih di cuaca dingin bulan Desember.
Mereka pun kemudian melanjutkan perjalanan pulang, melangkah pergi dari parkiran dan menuju lift. Menekan lantai 6 dan 8 saat pintu lift menutup, lalu diam dengan pikiran masing-masing. Paling tidak Mingyu begitu, sebelum suara Minghao menggema dalam hening dan ruang yang cukup sempit, "Ada satu hal yang ingin kuminta darimu."
Mingyu meluruskan punggungnya.
"Aku ingin kita bicara lagi jika kau sudah merasa bahwa menjadi bi, pan, atau apapun orientasimu itu, adalah hal yang normal. Senormal menjadi heteroseksual." Ekor mata Minghao melirik Mingyu, raut mukanya masih datar. "Jika kau sampai pada tahap itu. Kita bisa bicarakan ini lagi, jika perasaanmu masih sama."
Mingyu menganga. Mulutnya akan melayangkan protes. Tapi wajah Minghao meredup, dan sedikit getaran terlihat di bibir bawahnya.
"Aku tak mau jadi sekedar eksperimenmu."
---
Tentunya Mingyu ingin bilang tidak. Namun apa yang ia ketahui tentang ini? Minghao lebih tahu. Dan meski ia tersinggung Minghao bisa berburuk sangka padanya, dalam hati ia mengerti bahwa Minghao hanya berhati-hati. Bertahun-tahun ia menyukai seorang pemuda straight yang bahkan mengetahui perasaannya, dan tetiba saja mengatakan suka.
Minghao hanya menjaga hatinya. Dan mungkin ia juga menjaga Mingyu.
"Bisa saja kau hanya bingung." kata Minghao sebelum Mingyu keluar dari lift di lantai enam, keduanya sama-sama bermimik masam.
Ya. Bisa saja.
Pintu lift menutup, meninggalkan Mingyu di remang-remang lorong.
---
Setelah dadanya tak seberat beberapa saat lalu, ia pun berjalan gontai ke pintu asramanya yang baru; ke kamar yang tak lagi ia bagi dengan Minghao.
Minghao itu tidak banyak menimbulkan kegaduhan, tapi kamar Mingyu kini terasa amat sunyi. Padahal ada Jihoon sebagai teman sekamar barunya yang sering menggumamkan lagu.
Baru kali ini rasanya menyukai seseorang harus serumit ini. Biasanya hanya 'aku suka' dan 'aku juga'. Baru kali ini juga ia begitu takut mencinta dengan salah. Pada Minghao dan pada dirinya sendiri.
Jauh dalam lubuk hatinya, Mingyu masih menginginkan keluarga hangat seperti miliknya kini: dua anak dengan ayah dan ibu yang penyayang.
Minghao tak akan pernah bisa jadi ibu. Mingyu tak akan pernah jadi ibu.
Tapi itu semua terasa tak masuk akal sekarang. Karena memangnya, terus kenapa? Apa salah punya dua ayah? Bagaimana dengan orang tua tunggal yang membesarkan anaknya sendiri? Atau bahkan anak tanpa orang tua dan keluarga?
Semua hal yang dulu jadi prinsipnya, kini terasa cukup bodoh.
an.
haloo!
aku lagi dapet ide jadi bisa apdet lumayan cepet hehe
semoga suka dengan apdetan ini :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scenario [gyuhao]
Fanfiction[completed] Xu Minghao, si pemeran pembantu dalam kisah Kim Mingyu. ⚠️this fiction has discussions on sexuality and identity issues.