"Kau salah makan?" Minghao menoleh, ada Jun yang kini menyebelahinya di balkon. "Mukamu aneh. Seperti ini," Jun mengerutkan alis dan mengerucutkan bibirnya, seperti bebek yang mulas. Minghao hanya menatapnya datar. Ia yakin ia tidak bermimik seperti itu. Meski sedang gusar, Minghao tetap Minghao yang menjaga imejnya hampir setiap saat.
Minghao menghela napas, sedikit kabut muncul dari mulutnya. "Ayah Mingyu menelponku".
Jun mengerjapkan matanya. "Wow."
"Entah kenapa Mingyu terus menerus membuktikan betapa bodohnya dirinya." Minghao terkekeh. "Ia came out pada keluarganya, saat makan malam."
"Bukankah itu bagus?"
Minghao melirik Jun sekilas. "Aku tidak ingin jadi alasan ia renggang dengan keluarganya."
Junhui hanya berdeham, dan mereka kembali diam. Menikmati malam yang tenang, terlepas dari hiruk pikuk jadwal sebagai idol. Samar-samar suara orang bermain game terdengar dari dalam asrama, bersamaan dengan deru kendaraan yang lalu-lalang. "Pernahkah terlintas di pikiranmu, bahwa mungkin Mingyu melakukan ini untuk dirinya sendiri?"
Minghao mengangkat alisnya.
"Untuk hidup tanpa penyesalan, kau tahu?"
"Tidak." Jawab Minghao datar.
Jun terbahak, "Kau tak pernah merasakan krisis identitas, ya? Salah satu tahap menerima dirimu sendiri adalah untuk terbuka dengan orang lain; seperti apa yang Mingyu lakukan. Mungkin ia masih belum nyaman dengan embel-embelnya yang baru, tapi bukan berarti ia bodoh, XiaoPa."
Minghao mendengus. "Yah, memangnya apa yang bisa kupikirkan selain itu? Ketika ayahnya tiba-tiba menelponku dan mengucapkan selamat, lalu bilang ia menitipkan Mingyu padaku? Dan ia billang tidak usah khawatir dengan adik dan ibu Mingyu. Aku tidak tahu ia pamit pulang untuk ini. Mingyu bahkan menjaga jarak denganku sudah sebulan. Kau pikir aku tidak kaget?"
Tawa renyah Jun kembali terdengar. "Kau itu terlalu pemikir. Susah sekali ya tinggal menjalani? Lagipula kau sudah dapat restu ayah mertua."
Minghao bersungut, mendorong Jun, "Sialan!"
"Sudahlah," kata Jun setelah tawanya reda. "Ayo masuk. Aku sudah menyeduh teh herbal kesukaanmu itu."
Minghao mau tidak mau tersenyum tipis dan mengikuti Jun ke dalam, kembali pada hangat asrama, tempat yang begitu familier untuk Jun dan Minghao, juga Mingyu. Dan Minghao harap, rasa familier ini akan Mingyu rasakan juga untuk orientasi barunya.
--
Minghao sedang menyesap tehnya ketika Mingyu dan Seungcheol memasuki apartemen. Seungcheol tanpa ragu bergabung dengan Minghao dan Jun, meminta satu gelas teh hangat juga, sedang Mingyu berdiri terpaku di ambang pintu, matanya tak berkedip menatap Minghao.
Pipi Minghao memerah. Ia mengernyitkan alis, "Yah! Jangan berdiri di jalan. Jika mau duduk, duduk saja." ketusnya.
Mingyu mengerjap, lalu mendekat dan menarik kursi dengan deritan kikuk. Seungcheol terkekeh di balik cangkirnya.
Tanpa disengaja suasana di meja itu kini canggung, hanya ada desisan dari sosis-sosis yang sedang Jun panggang di wajan. Seungheol mengetuk-ngetukkan jari pada meja, matanya mengamati Mingyu dan Minghao dengan diam. "Hei, Jun," Jun mendongak, "ikut aku sebentar."
Jun memandang Seungcheol sejenak, lalu mematikan kompor dan menaruh sosis-sosisnya di piring. Anggota tertua Seventeen itu keluar dapur, entah kemana.
"Terimakasih Jun-ge." Lirih Minghao saat Jun melewati kursinya. Jun mengusak rambutnya dengan sedikit kekehan, lalu pergi, meninggalkan Minghao yang masih menyesap teh dan Mingyu yang memandangnya dengan mata lebar.
Minghao meletakkan cangkirnya dengan sedikit bantingan. "Adakah yang ingin kau katakan?"
"Jadilah pacarku."
Jika Minghao masih minum teh, mungkin ia sudah menyemburkannya. "Ap―hah, apa?!"
"Jadilah pacarku!"
"Kau memaksaku?!"
"Iya!"
Minghao menganga dengan muka merahnya yang lama kelamaan ditiru Mingyu.
Mingyu berdehem, menjelalatkan matanya ke seluruh pelosok dapur, kemanapun asal bukan mata Minghao.
"Kau... kau mabuk?" tuduh Minghao.
Mingyu menegakkan badannya, "Tidak!" lalu secepat kilatan dalam matanya datang, secepat itu pula Mingyu melemas di kursinya, "Tidak." Ulangnya lemah. "Aku hanya merasa bodoh."
Minghao mendengus. "Kemana saja kau dua puluh tahun ini?"
"Yah! Dengarkan aku dulu!" Mingyu bergerak tak nyaman di kursinya sebelum menarik napas dalam. "Aku tidak tahu masa depan akan seperti apa. Aku juga tidak tahu bagaimana caranya menjalin kasih dengan laki-laki, jikalau pun berbeda dengan hubungan dengan perempuan. Aku juga tidak tahu bagaimana keluargaku setelah hari ini. Apakah aku akan dibuang? Tidak dianggap lagi? Entah." Mingyu berdiri dari kursinya, kini berdiri tegap di depan Minghao dengan mata yang tulus. Dan meski penuh tekad, tatapannya begitu lembut. "Banyak yang tidak aku ketahui, Myungho-ya. Tapi sekarang, paling tidak aku mengetahui dan meyakini satu hal―" Perlahan, Mingyu membungkukkan badannya, dan Minghao tak berusaha menjauh. "―kepalaku tahu, dan hatiku meyakini, bahwa aku mencintaimu."
Telinga Minghao berdengung, begitu banyak darah mengalir di pipi dan kepalanya. Pandangannya sedikit mengabur, entah karena pusing atau tertutup lelehan air mata. Pikiran berkecamuk dan jantungnya memompa dengan berisik. Namun semua kehebohan dalam tubuhnya itu tidak membuat Minghao melewatkan dua belah bibir Mingyu yang mengecupnya pelan. Hangat, dan terasa familier entah kenapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scenario [gyuhao]
Fanfiction[completed] Xu Minghao, si pemeran pembantu dalam kisah Kim Mingyu. ⚠️this fiction has discussions on sexuality and identity issues.