Bab 8. Jalan-jalan

432 64 181
                                    

Jam tiga sore, Ayra sudah siap dengan setelan hoodie berwarna putih, celana hot pants hitam, dan sepatu kest putih. Rambutnya ia gerai tanpa mengenakan aksessories apa pun. Sungguh penampilan yang simple nan modis.

Gadis itu lantas keluar dari kamar setelah mendapat pesan bahwa Radit sudah sampai di depan rumahnya. Dia tak lupa berpamitan pada sang mama dan mengucap salam sebelum pergi.

Namun, setibanya di depan rumah, Ayra sedikit terkejut melihat Radit duduk di atas motornya dengan santai. Ia membuka pintu gerbang lalu mendapati pemuda itu tersenyum padanya.

"Kok bawa motor, sih, Dit?" tanya Ayra raut cemberut.

"Jangan marah dulu, Ay. Ada yang belum kamu tau soal aku, berkaitan dengan motor ini juga."

"Maksudnya?"

"Nanti aku jelasin. Sekarang ayo kita berangkat, biar pulangnya nggak kemaleman."

"Sebentar, aku ambil helm dulu."

Tidak lama Ayra kembali dengan membawa sebuah helm. Ia naik ke atas motor setelah menutup pintu gerbang tanpa menguncinya. Gadis itu merasa ragu saat melingkarkan kedua tangannya di pinggang Radit.

Pekan akan hal tersebut, Radit tersenyum dan bergerak cepat mengeratkan rangkulan Ayra. Bersama jantung yang berdebar hebat, semburat merah menghiasi pipi gadis itu.

🕊🕊🕊

Setelah beberapa menit di perjalanan, mereka pun sampai di tempat yang dituju yakni sebuah pusat perbelanjaan 3 lantai dengan segala produk fashion di dalamnya.

Begitu menginjakkan kaki lobi mall, mata Ayra berbinar seraya memandang ke sekeliling. Gadis itu tampak sangat gembira karena sudah lama tidak masuk ke mall, disebabkan dia lebih sering menghabiskan waktunya di rumah.

Ayra kemudian menarik tangan Radit untuk menaiki lift menuju lantai tiga. Karena sesuatu yang akan ia beli terletak di sana. Pemuda itu pun menurut saja tanpa melontar suatu kata.

Ayra berdecak girang kala menemukan barang yang ia cari. Berbeda dengan Radit yang melongo seolah tak percaya saat mengetahui bahwa gadis itu membeli sebuah kain.

"Ay, kamu serius mau kain?"

Gadis yang ditanya mengangguk. Dia terus melihat berbagai kain dengan corak dan warna yang beragam—yang terlipat rapi di tempatnya.

"Buat kado ultah kakak kamu?"

Radit kembali melontar tanya yang lagi-lagi dijawab dengan sebuah anggukan oleh Ayra. Namun, kini gadis itu menatap ke arahnya dan mengernyit heran mendapati ekspresi sang sahabat.

"Kenapa, Dit?"

Tersadar bahwa ia sudah cukup lama melongo, Radit segera menutup mulutnya rapat-rapat. Menelan salivanya secara susah payah, lalu kembali bersuara pada gadis di sampingnya.

"Yang bener aja kamu mau ngasih kado kain ke kakak kamu. Emang buat apa kain ini? Buat ngelap muka?"

Sontak, tawa Ayra pecah. Saking ngakak-nya gadis itu sampai memukul pelan lengan Radit hingga membuat si empunya semakin bingung.

"Berpikir agak panjang, dong, Dit. Kain bisa dibuat apa aja?"

Radit terdiam memutar otak. " Ya banyak. Dibuat baju bisa, celana, rok, dan lain-lain."

"Nah, itu kamu tau. Kain ini mau aku rancang dulu sebelum dikasih ke Kak Reyhan."

"Tapi emangnya kamu bisa ngerancang?" tanya Radit setelah manggut-manggut pertanda paham.

Gadis Perindu Kakak ✔ [Proses revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang