Bab 14. Hidayah

567 63 120
                                    

Hujan telah reda beberapa saat yang lalu. Langit yang sebelumnya gelap karena terselimuti awan hitam, kini berganti cerah oleh sedikit sinar dari matahari. Karena merasa jenuh berada di rumah seorang diri, Reyhan memutuskan untuk pergi keluar rumah.

Mengendarai motornya dengan kecepatan normal, Reyhan melewati jalan raya yang masih basah karena hujan. Ranting dan daun dari pepohonan juga masih meneteskan air terus menerus. Cuaca buruk beberapa saat yang lalu kini telah terganti oleh suasana sejuk di menjelang siang hari.

Berbeda dengan Reyhan yang suasana hatinya sedang tidak baik. Di karenakan ucapan Dita tadi, membuat hati dan pikirannya terdiam. Serasa ada yang mengganjal. Tapi Reyhan enggan untuk memikirkannya lebih dalam.

Laju motor Reyhan berhenti di sebuah taman yang terhiasi oleh bunga dan tanaman hijau. Reyhan memarkirkan motornya di pinggir taman, lalu ia berjalan menyusuri taman itu sembari melihat ke sekelilingnya.

Sesaat lamanya Reyhan berjalan, ia melihat banyak sekali orang-orang baik lelaki maupun perempuan berbondong-bondong menuju sebuah Masjid yang tak jauh dari taman tersebut. Entah kenapa, Reyhan merasa ada sesuatu yang membuat hatinya tergerak ingin pergi ke Masjid itu. Tanpa ragu ia pun mengikuti hasratnya.

Ternyata di Masjid itu sedang terlaksana acara pengajian, yang didakwahi oleh seorang Ustad. Reyhan kembali mengikuti hasratnya ingin mendengarkan dakwah itu. Ia pun turut duduk bersilah bersama orang-orang lainnya. Dakwah itu bertemakan tentang kematian, membuat Reyhan semakin tertarik mendengarkannya hingga selesai.

Begitu acaranya telah usai, para jama'ah pun membubarkan diri. Sementara Reyhan tetap berada di sana, ia mengedarkan pandangannya ke arah Ustad yang berdakwah tadi. Reyhan berniat ingin menghampiri Ustad itu, bermaksud menanyakan sesuatu hal yang terasa mengganjal di hatinya saat ini.

"Assalamu'alaikum, Pak Ustad," ucap salam Reyhan sembari mengulurkan tangannya.

"Wa'alaikumsalam." Ustad itu menjawab salamnya dengan ramah sekaligus menerima uluran tangan Reyhan.

"Nama saya Reyhan, Pak Ustad. Maaf, apa saya boleh minta waktunya sebentar? Ada yang pengen saya tanyakan sama Pak Ustad."

"Oh, boleh. Silakan duduk, Nak Reyhan," kata Ustad itu yang mendapat anggukan dari Reyhan.

Reyhan pun duduk bersilah di dekat Ustad itu. Sejenak atensinya memandangi tasbih yang terus bergerak di tangan Pak Ustad. Tak berlangsung lama ketika Pak Ustad itu menanyakan maksud dan tujuan Reyhan.

"Tadi saya dengerin dakwahnya Pak Ustad tentang kematian manusia. Saya punya masalah yang berkaitan dengan itu. Mungkin Pak Ustad bisa menjelaskan atau menyimpulkan."

"Insyaallah." Pak Ustad tersenyum. Membuat Reyhan semakin tidak ragu untuk berbicara, tentang hal yang selama ini menjadi masalah di kehidupannya.

"Jadi gini Pak Ustad, lima tahun yang lalu papa saya meninggal karna kecelakaan. Dan saya punya saudara perempuan--lebih tepatnya adik kandung, namanya Ayra. Dan saya ... menyalahkan dia atas kematian papa saya. Menurut Pak Ustad saya salah atau bener?"

"Kenapa Nak Reyhan menyalahkan adiknya Nak Reyhan itu?" Pak Ustad balas bertanya. Sebenarnya ia sudah mempunyai jawaban atas pertanyaan Reyhan, namun ia merasa perlu bertanya, agar lebih fasih terhadap permasalahannya.

Reyhan pun menceritakan tentang peristiwa lima tahun silam dari awal hingga akhir. Bahkan Reyhan juga mengatakan bahwa semenjak hari itu, ia membenci Ayra dan tidak menganggapnya sebagai adik. Sampai kemudian cerita Reyhan berakhir. Pak Ustad pun lantas menghela napas lalu berkata, yang tentunya sangat Reyhan dengarkan dengan seksama.

Gadis Perindu Kakak ✔ [Proses revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang