Bab 18. Ragu

479 64 79
                                    

Seiring berjalannya waktu, kondisi Ayra semakin membaik. Meski begitu Dita belum memperbolehkan putrinya untuk kembali bersekolah, di karenakan Ayra masih seringkali merasa pusing. Hal itu pun disetujui oleh Reyhan yang menginginkan adiknya benar-benar sehat secara total.

Hari ini Radit berkunjung ke rumah Ayra, dia datang seorang diri sambil membawa buah tangan. Radit sempat terkejut saat mendengar perkataan Reyhan bahwa Ayra hilang ingatan. Tentunya Ayra pasti tidak akan ingat siapa Radit sebenarnya.

Timbul kesedihan di hati Radit yang merasa berat menerima kenyataan itu. Tapi Radit tetap bersyukur, karena Ayra selamat dan sudah sadarkan diri.

Atas izin Reyhan, Radit pergi ke kamar Ayra. Ia melihat gadis itu sedang membaca buku, dengan posisi duduk di tempat tidur dan bantal sebagai sandarannya.

Kedatangan Radit sama sekali tak membuat Ayra ingat tentang masa lalunya. Gadis itu mengkerutkan dahinya sebagai respon atas sapaan Radit padanya.

"Aku seneng banget kamu udah sadar, Ay. Malahan udah pulang ke rumah," ujar Radit sangat antusias. Ia meletakkan buah tangan yang dibawanya di nakas, lalu duduk di kursi yang telah tersedia.

"Kamu siapa?" tanya Ayra dengan tatapan asing yang penuh rasa curiga. Sesaat tatapannya beralih ke pemuda yang baru masuk ke kamar dan turut duduk tepat di sampingnya.

"Aku ini sahabat kamu, Ay. Radit, cowok paling ganteng di sekolah. Inget, kan?" ucap Radit semangat dengan harapan Ayra akan mengingatnya. Tapi itu sama sekali tak berpengaruh.

Gelengan pelan dari Ayra, membuat Reyhan dan Radit sama-sama merasa sedih. Di dalam hati, mereka berguman dengan pikiran masing-masing. Suasana pun canggung selama beberapa detik, sampai kemudian Reyhan bersuara.

"Radit, jangan dipaksa. Biar ingatan Ayra pulih dengan sendirinya. Kita bantu dia secara perlahan."

Untuk pertama kalinya Reyhan berkata bijak, dan hal itu didengar oleh Dita yang bersembunyi di balik dinding kamar Ayra. Dita tersenyum setelah perkataan Reyhan yang kini sudah menyadari kesalahannya.

Sementara itu, Radit mengangguk paham dengan kalimat yang Reyhan katakan. "Terus Ayra kapan masuk sekolah, Kak?"

"Kalau Ayra udah bener-bener sembuh total. Sekarang ini dia masih suka pusing tiba-tiba," tutur Reyhan menjelaskan.

"Iya Kak, bener. Kesehatan Ayra itu yang terpenting. Oh ya, kalau Ayra udah masuk sekolah lagi, Kakak gak usah khawatir. Aku yang bakal jagain dia."

Ayra hanya diam mendengarkan obrolan kedua pemuda di sampingnya. Gadis itu tidak berniat membuka suara, karena bingung harus berkata apa. Elusan lembut yang mendarat di puncak kepala Ayra, mengalihkan atensi gadis itu ke arah Reyhan.

"Kok diem aja? Kamu gak mau ngomong sama Kakak, atau sama Radit?" tanya Reyhan yang mendapat anggukan setuju dari Radit.

"Ngomong apa?"

Pertanyaan balik dari Ayra sukses membuat kedua pemuda itu tertawa. Ingatan Ayra yang hilang rupanya tak mempengaruhi kepolosannya.

"Ngomong apa aja, Ay. Yang penting ngomong." Radit yang merasa gemas dengan sahabatnya itu tanpa ragu mencubit pelan pipi Ayra.

"Apaan sih! Gak sopan, deh!" decak Ayra kesal terhadap apa yang Radit lakukan.

Radit tertegun. "M-maaf," ucapnya menyesali.

Entah kenapa tiba-tiba Ayra tertawa setelah melihat perubahan pada ekspresi Radit. "Kamu lucu, deh." Gadis itu balik mencubit pipi Radit.

"Tadi aku bilang gitu cuma bercanda, kok. Kamu orangnya asik juga," ucap Ayra lagi yang kian melunturkan tawanya.

Gadis Perindu Kakak ✔ [Proses revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang