Joko Nunggal tengah menghadapi api yang berkobar semakin besar. Tampaknya ia terjebak di hutan yang mulai diliputi oleh asap pekat akibat kebakaran besar. Joko Nunggal berusaha tidak panik dan mencari jalan keluar dari tempat kebakaran. Tapi ia sendiri bingung ke mana arah jalan keluar, hutannya terlalu luas. Sedangkan api begitu cepat membakar ranting- ranting pohon. Seberapapun air tidak akan mampu membendung kobaran api.
Joko Nunggal mulai tampak pasrah sambil mengharapkan ada keajaiban. Dengan kesaktiannya ia tidak akan mampu melawan keganasan alam, manusia secerdas dan sesakti apapun amat susah menghindari serangan bencana yang menggemuruh dihadapannya. Kalau sebelumnya ia bisa menghindar dan lolos maka ia hanya bersandar pada keagungan Tuhan. Ia diam meditasi, sambil merapal doa – doa, ke manapun lari ia telah terkepung oleh api.
Kalau saja kejadiannya seperti cerita balai Sigala – gala di mana para pandawa akhirnya selamat dengan adanya jalan di bawah tanah. Tapi memang ada seperti cerita di wayang kulit yang diperkenalkan oleh Sunan kalijaga itu.
Asap putih abu abu membekap, nafas Joko Nunggal tampak kepayahan. Semakin lama semakin pekat dan membuat nafas menjadi sesak. Tidak ada jalan lain Joko Nunggal lantas duduk dan mencoba meditasi. Ia siap seandainya harus terbakar, meskipun ia membayangkan wajah Sawitri, wajah Ranti. Tiba tiba ia merasa seperti terbang melewati awan gemawan, masuk dalam lorong- lorong hingga ia tidak sadar ia tengah berada di mana.
Seorang kakek berbaju putih dengan jenggot dan kumis memutih duduk bersila di sebuah ruangan luas. Ia seperti tengah semedi dengan mata tertutup. Sepertinya tubuh itu tidak bergerak. Tenang di temani oleh wewangian di ruangan. Di depan kakek berbaju putih itu tampak tergeletak seseorang berperawakan tinggi besar. Laki – laki itu terbaring lemah dengan nafas yang kurang teratur. Pelan – pelan mata kakek itu membuka. Kakek itu pelan – pelan bangun dan mendekati pemuda yang tergeletak lemah. Ia Melihat pemuda itu tengah berjuang untuk melewati masa kritis. Api yang berkobar sempat membakar kulit, namun tidak terlalu parah. Hanya tampaknya paru – paru pemuda itu tersedot asap dan belerang dari gunung Merapi.
Untung kakek itu sedang lewat dan rogoh sukmanya. Ia tengah mengembara melihat perkembangan Merapi. Ia melihat aura pemuda itu baik, hingga ia memutuskan membantu pemuda itu lolos dari kepungan api dan lahar panas Merapi.
Bagaimana caranya kakek itu menolong, sedangkan yang melintas itu hanya badan halusnya, semacam roh yang bisa keluar dari tubuhnya dengan kesaktian yang dimiliki oleh kakek. Kakek itu mengenal daerah merapi, ia pernah melewati lorong bawah tanah yang dibangun ketika jaman Majapahit. Beberapa prajurit Majapahit membangun lorong bawah tanah untuk bisa menyelematkan diri dari bencana besar Merapi yang cukup dahsyat. Kakek itu dengan kemampuannya memasuki raga pemuda itu. Dalam keadaan tidak sadar pemuda itu masuk ke lorong dan keluar hingga sampai keluar dari hutan lebat menuju utara desa Gintung. Desa paling terakhir dari kawasan yang bisa dihuni manusia.
Raga pemuda itu tidak sadar bahwa ia berjalan menuju sebuah rumah besar semacam padepokan yang keseluruhan dindingnya terbuat dari batu – batu Merapi. Batu, pecahan batu – batu kecil dan pasir dicampur dengan adonan dari batu belerang yang ia ambil dari sisa guguran lava saat merapi sedang tenang. Pintunya terbuat dari kayu jati pilihan dan perabotan lemarinya terbuat dari kayu nangka yang berumur ratusan tahun. Cerita orang kayu – kayu tidak didapat dengan cara menebang. Kayu itu roboh oleh badai angin yang kadang datang di sekitar gunung. Jadi kakek itu memanfaatkan kayu yang telah roboh untuk dijadikan pintu dan perabot lainnya.
Siapakah kakek itu sesungguhnya?
Kakek itu mendekat ke pemuda yang tergeletak di depannya. Ia ke belakang rumahnya untuk mencari daun – daun racikan untuk mengobati luka bakar, dan membersihkan paru paru yang kemasukan asap terlalu banyak. Untung saja fisik pemuda itu memang cukup kuat. Hingga ia bisa bertahan dari kebakaran dan asap yang sebetulnya beracun tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapi Membara, Sambungan dari Bara Asmara di Kaki Pegunungan Menoreh
Fiksi SejarahIni adalah cerita sambungan dari Bara Asmara di Kaki Bukit Menoreh. Kisah cinta, berbalut sejarah dan beberapa cerita tentang Alam sekitar Menoreh dan Lembah Merapi Merbabu yang menyimpan banyak cerita.Settingnya adalah seputar masa kerajaan Mataram...