Manis, pahit, hitam, merah, putih, kabut. Selalu menjadi sahabat Joko Nunggal di dusun Gintung. Ia merasakan dingin menggigit kala malam, panas terik kala matahari tidak terpayungi oleh awan dan ia melihat merah merona kala senja dan pagi hari. Ia ingin menterjemahkan ajaran- ajaran dari guru Kyai Guntur Geni.
"Aku belum pernah mengangkatmu sebagai murid, kaupun belum berhak menyatakan bahwa aku guru. Aku hanya menemanimu menemukan ilmu sejati, bukan karena bantuanku melainkan kau bisa mengambil kesimpulan dari perjalananmu sampai ke sini."
"Tetap saja kau guru bagiku Kyai..."
"Guru sesungguhnya adalah pengalamanmu sendiri, guru terbaik adalah kehidupan itu sendiri. Seyogyanya kamu ketahui bahwa semakin dewasa, semakin berumur kau akan semakin tidak bisa mengandalkan ingatanmu, dan kekuatanmu. Pada tingkatan lebih tinggi dari ilmu Kanuragan yang terpenting adalah matangnya rasa, matangnya kesabaran dan kekuatan untuk mengampuni. Kau masih terkendali pada gelegak mudamu, yang ingin merasakan surganya dunia, merasakan nikmatnya keindahan perempuan dan segarnya pergulatan dengan asmaramu yang masih membara.Kau mesti memilih, tidak bisa memiliki keseluruhan. Cinta yang utama harus kau tambatkan pada belahan jiwamu. Kamu pasti bingung. Itulah api yang membuatmu masih akan membara. Akan ada peristiwa di mana kau harus memilih."
"Pergilah ke padang rerumputan di sisi Utara sana. Dengarlah angin berbisik, dengarlah suara – suara alam.
Olahlah tubuhmu dan perhatianmu pada benda – benda sekelilingmu." Joko Nunggal seperti mendengar bisikan entah dari mana tapi pasti dari Sang Kyai sakti itu.
Joko Nunggal mulai berjalan ke arah padang rumput kering. Ia mendengar bisikan – bisikan angin ia dengarkan sebagai sebuah orkestrasi musik. Ia ingin mendengarkan dari hatinya bukan telinganya yang tampak menderas suara gemuruh. Angin kadang pelan lembut, kadang tiba – tiba menerbangkan bunga rerumputan seumpama kipas yang amat ringan, segera terhempas naik untuk kemudian turun secara bergelombang.
Ia mulai mencoba merasakan gerakan angin itu dengan melakukan gerakan pelan. Merasakan gerak rerumputan hingga tidak saling bertabrakan antara satu rumput dengan yang lainnya. Dalam kesunyian puncak gunung ia merasakan ada percakapan kecil sayup – sayup. Percakapan dari alam kasunyatan (kenyataan) dan ilusi – ilusi yang timbul tenggelam.
Joko Nunggal memandang rerumputan itu, yang tinggi dan dan akhirnya rebah tersapu usia dan waktu. Ketika rumput tua mengering, ia segera menjadi sampah yang berserakan di tanah, namun bunga- bunga putiknya menebar menyusup di bebatuan, masuk ke kolong kerikil dan terbang terhempas angin hingga mampu pindah jauh sesuai arah angin.
Dalam konsentrasi yang tinggi, ketika ia letakkan lelah dan pasrah oleh hempasan angin, Joko Nunggal seperti terbang, mengikuti angin, mengikuti gemulainya rerumputan. Ia letakkan kuda tengah, kuat kuat mencengkeram bumi, ia diam, dan tampak serbuan angin seperti membadai, seperti putting beliung tiba tiba ia melihat pusaran angin mendekat ke dirinya.
Joko Nunggal mencoba mempertahankan kuda- kudanya. Ia meletakkan kuda – kudanya yang posisinya nyaman, ia mengerahkan ilmu pasak bumi agar ia tidak terhempas dengan badai yang bisa merontokkan konsentrasi.
Joko Nunggal mengerahkan kuda- kudanya, sedangkan tubuhnya lentur mengikuti hembusan angin dan tiba – tiba badai dengan cepat ikut membuat panik orang – orang. Kaki Joko Nunggal serasa dihempaskan, dibanting. Ketika ia mengerahkan tenaga luar, ia terhempas, tidak bisa mencegah badai datang.
Angin kembali semilir dan Joko Nunggal tetap dalam kuda-kuda siaga. Ia ingin mengikuti iramanya untuk menundukkan musuh dengan halus, tidak dengan kekerasan. Rumput liar itu melambai terdorong oleh angin gunung. Jadi ia ikuti gerakan bebas rumput liar. Terkadang ilmu kanuragan didapat dari proses kebetulan, tetapi juga kadang harus melewati gemblengan keras dan melelahkan. Ketika tingkatan olah kanuragan sudah dalam tahab pematangan, artinya dasar bela diri sudah lewat dan memasuki masa di mana naluri manusia bebas menggerakkan tubuh dan menghindar dari serangan senjata atau pukulan berbahaya dengan kepekaan rasa, kepekaan menangkap gerakan dan deru angin yang mendahului serangan. Seorang pendekar tahu dari melihat sorot mata lawan atau gerakan kuda- kuda lawannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapi Membara, Sambungan dari Bara Asmara di Kaki Pegunungan Menoreh
Fiksi SejarahIni adalah cerita sambungan dari Bara Asmara di Kaki Bukit Menoreh. Kisah cinta, berbalut sejarah dan beberapa cerita tentang Alam sekitar Menoreh dan Lembah Merapi Merbabu yang menyimpan banyak cerita.Settingnya adalah seputar masa kerajaan Mataram...