Zero

44 4 0
                                    

    Malam saat itu adalah malam yang sangat dingin. Angin dari bukit berhembus bersamaan dengan daun-daun yang menua. Kulit akan terasa membeku ketika sapuan halus angin malam menyentuh, membuatmu bergemetar kecil di tempatmu.

   Menara-menara tinggi menjulang ke langit malam, menembus awan gelap di atas kepala mereka. Lampu-lampu terlihat di bawa bergerak oleh masing-masing penjaga yang berjaga di sana. Dan sebagian dari penjaga-penjaga itu tampak berlari tergesa-gesa ke suatu tempat.

   Keadaan istana besar itu tengah dipenuhi ketegangan.

   Di bagian dalam istana, di sayap kanan di mana tidak semua orang bisa mengunjunginya. Koridor tampak dipenuhi oleh suara derap langkah kaki prajurit yang tergesa-gesa. Mereka melewati sebuah pintu besar yang setengah terbuka. Cahaya mengintip dari celahnya, celahnya tidak begitu lebar, tetapi cukup untuk sekedar mengintip dari luar.

    Di dalam ruangan itu terdapat beberapa orang yang berdiri mengelilingi sebuah tempat tidur besar. Ketegangan dan amarah tampak menghiasi wajah mereka. Kepalan tangan mereka tampak siap menghajar sampai mati siapa saja yang bertanggung jawab atas kejadian di depan mata mereka.

    Seorang pria paruh baya dengan jubah putih tampak memegang  pergelangan tangan seorang gadis yang tengah terbaring di atas kasur tersebut. Jari-jarinya tampak menyentuh beberapa titik nadi sebelum akhirnya ia melepaskan helaan nafas berat. Ia kemudian menggerakkan tangannya untuk menghelus wajah gadis yang tampak menutup matanya di atas kasur itu. Perlahan ia menyingkirkan rambut yang menutupi wajah gadis itu, hingga terlihat wajah pucat dengan deru nafas yang berlomba-lomba.

   "Thomas...bagaimana keadaannya?" Seorang pria di belakangnya bertanya dengan suara berat. Terdengar seperti tengah menahan emosi yang meluap-luap di kepalanya.

    Pria berjubah putih--Thomas, yang tadinya duduk itu pun akhirnya berdiri dari tempatnya dan menghadap pria tadi dengan hormat. Ia menatap ke wajah pria itu dengan seksama dan akhirnya menghela nafasnya.

   " Yang mulia, saya memiliki kabar baik dan kabar buruk di saat yang bersamaan sekarang." Ucap Thomas. "Saya takut, saya tidak memiliki cukup keberanian untuk melaporkan keduanya.".

   Pria yang ia panggil Yang mulia itu tampak berdecih dan menggertakan giginya kasar. " Jangan membuatku menunggu, cepat laporkan keadaan putriku sekarang!".

   Thomas mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga kukunya menusuk telapak tangan yang bergetar itu. Keringat bercucuran dari tengkuknya, seakan ada yang sedang menggelindingkan balok es di punggungnya. Ia sesekali melirik ke atas, di mana pria nomor satu di kerajaan besar ini tengah menatapnya seakan ia adalah makhluk yang akan ia bunuh dalam 15 menit lagi.

   "Kabar baiknya, saya mengetahui jenis racun yang menggerogoti tubuh tuan putri. Dan saya juga sudah mengetahui penawar yang tepat untuk mengatasinya." Jelas Thomas menundukkan kepalanya, ia melirik ke belakang bahunya, dimana tampak seorang gadis terbaring dengan keadaan mengenaskan di atas kasur yang besar. " Saya akan mengerahkan seluruh kemampuan yang saya punya dalam semalam ini.".

   "Syukurlah...syukurlah..." di sisi lain tempat tidur itu tampak seorang wanita paruh baya tengah duduk di pinggirannya, tangannya bergetar hebat memegang tangan gadis yang terbaring itu. Matanya tampak sembab oleh air mata yang mengering. Tetapi, hatinya masih terasa bagai di tusuk jarum-jarum tak kasat mata.

   "Kau sudah menyampaikan kabar baiknya.." ucap seorang pria lain yang tampak duduk di samping wanita paruh baya tadi. "Kau bilang tadi, kau memiliki kabar buruk.".

   Thomas mengangguk ragu. " Masalahnya, unsur utama dari penawar itu terlalu sulit untuk di dapatkan sekarang. Saya takut, kita tidak akan mempunyai cukup waktu untuk menyelamatkan tuan putri...".

The lily's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang