Part 10

1.9K 391 39
                                    

Bugh

Ayana menutup kencang pintu apartemennya tepat di depan wajah Yusman. Pria itu sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi saking syoknya. Matanya mengerjap berulang kali. Apa yang dilakukan Ayana diluar dugaan. Ia mengira gadis itu akan bahagia mendengar dirinya belum menikah. Melainkan sebaliknya.

"Apa dia nutup pintu?" tanya Yusman dengan bodohnya pada pintu apartemen Ayana.

Lain dengan seseorang yang berada di dalam apartemen. "Dia pikir aku percaya dengan omongannya?" ucap Ayana sinis seraya menatap ke arah pintu yang tertutup. "Ngaku-ngaku belum nikah?! Dasar play boy brengsek!" ia masih melontarkan kata-kata kasar. Sampai semalaman dirinya menggerutu tidak jelas karena kesal pada Yusman.

Keesokan harinya sekertaris Yusman menelepon jika berkas gugatannya ada sedikit masalah. Ayana di minta untuk datang ke kantor. Karena kuasa hukumnya belum di pindah serahkan pada Yusman. Yang ia tahu Pak Imam mundur menjadi pengacaranya karena masalah kesehatan. Beliau meminta Yusman yang melanjutkannya. Ayana harus menandatangani surat yang menyatakan jika Yusman kini yang menjadi kuasa hukumnya yang baru.

Ayana menginjakkan kakinya ke ruangan Yusman dengan cemberut. Dalam hatinya menggerutu kenapa harus berkaitan dengan si play boy lagi dan lagi. Tanpa di suruh gadis itu duduk di sofa. Yusman sudah menyadari kedatangan Ayana tapi ia sedang fokus memeriksa berkas milik Ayana. Pria itu bangkit dari kursi lalu mengancingkan jasnya.

"Kamu tandatangani surat pernyataan baru," ucapnya.

"Kenapa?" tanya Ayana ketus.

"Awalnya kan Pak Imam yang menjadi kuasa hukummu. Dan sekarang aku, beliau mundur jadi pengacaramu. Dan sekarang kita buat surat baru."

"Mana suratnya?" tanya Ayana malas. "Apa nggak ada pengacara lain?" tanyanya kembali sebelum membubuhkan tanda tangan. Yusman menaikkan bahunya. Ia meletakkan surat tersebut di atas meja. Bibir Ayana tidak berhenti menggerutu saat menandatangani.

"Hari ini kita daftarkan surat gugatan ke pengadilan."

"Kamu aja sendiri bisa, kan?"

"Nggak, harus dengan si penggugatnya. Sekalian kita harus ke rumah sakit. Menjenguk Pak Imam." Ayana tidak bertanya kembali. Malas berdebat dengan Yusman. "Kita berangkat sekarang," ucap pria itu sambil merapihkan berkas.

"Aku bawa mobil," ucap Ayana saat mereka di depan kantor. "Jadi.." belum juga melanjutkan ucapannya Yusman memotongnya.

"Satu mobil denganku, kamu nggak tau rumah sakit dimananya kan?"

"Aku ngikutin dari belakang," sahut Ayana.

"Dan kalau ketinggalan gimana? Nggak bisa baca Map juga," sindirnya.

Ayana terdiam. "Rasanya ingin teriak aja di depan mukanya!" makinya dalam hati. Mereka keluar dari kantor. Yusman berjalan menuju mobil miliknya. Sedangkan gadis itu menunggu di depan kantor. Dan mobilnya berhenti di depan Ayana. Mau tidak mau gadis itu satu mobil dengan Yusman.

Selama perjalanan Ayana membuang muka tidak mau melihat Yusman yang berada di sampingnya. Tidak ada yang membahas kejadian semalam. Suasana di dalam mobil begitu sunyi. Suara musik pun tidak ada, Yusman tidak menyetel mp3. Omelan demi omelan terlontar di hati Ayana. Ia membenci situasi ini.

Sebelumnya mereka ke pengadilan untuk mendaftarkan gugatan. Di sana banyak yang mengenal Yusman terutama pegawai wanita. Ayana hanya mendelik di balik kacamatanya. Sudah tidak aneh pikirnya. Mereka melanjutkan ke rumah sakit. Di tengah jalan ada yang membuat Ayana senang.

"Bunganya bagus," celetuknya tanpa sadar melihat tukang bunga di pinggir jalan. Yusman yang mendengarnya segera meminggirkan mobilnya. Ia keluar, Ayana sampai heran saat melihatnya. Tidak lama Yusman kembali dengan memegang satu buket bunga mawar merah. Ia menaruhnya di atas paha Ayana tanpa bicara dan melanjutkan ke rumah sakit. "Pasti Pak Imam suka bunganya," ucapnya seraya tersenyum. Mata Yusman terbelalak. Ia pikir Ayana yang menyukainya sehingga rela berhenti dan meminggirkan mobil hanya untuk membelikannya. Ia mengatur napasnya karena emosi.

I'm Still Here (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang