8. Mulai Ragu

153 11 26
                                    


Tolong,
jangan buat Raga ini mulai Ragu!

__________________________


Panca duduk diam di mobil. Sudah sepuluh menit ia menunggu, tapi kakaknya tak kunjung keluar rumah. Terakhir, ia melihat kakaknya sibuk dengan chat grup Osis yang membuatnya merasa diabaikan.

Karel berjalan tergesa ke arah mobilnya, tetapi matanya tetap fokus pada benda pipih di genggamannya. Ia membuka pintu mobil putih itu lalu duduk di kursi kemudi. Meletakkan ponselnya di dashboard sebelum mengenakkan seatbelt nya. Ia melirik sekilas ke samping, pada Panca yang saat ini sedang memandang ke luar jendela mobilnya yang terbuka sempurna. Tangannya terarah pada pintu mobil bagian kiri dan menaikkan kaca mobilnya. Kaca mobil itu tertutup sempurna.

Panca yang kesal dengan apa yang dilakukan Karel, menatap tajam ke arah kakaknya itu. Ia hampir berhasil menurunkan kaca mobilnya lagi, sebelum sebuah tangan menyingkirkan tangannya. "Gak usah dibuka! Anginnya gak enak,"

Panca memilih mengalihkan pandangannya ke luar kaca mobil yang sekarang sudah tertutup.

Karel memacu mobilnya dengan kecepatan standar. Lagipula ini masih pagi. Mereka tidak akan telat. Sesekali ia melirik ke arah Panca yang selama perjalanan tidak pernah mengalihkan atensinya.

"Lo marah?" Tanya Karel. Ia sedikit terganggu dengan sikap sang adik. Panca bukanlah tipe cowok dingin dan irit bicara. Ia bahkan bisa lebih cerewet dari sang kakak. Panca hanya sedikit keras kepala. Bukan sedikit, tapi terlalu. Karel tidak suka dengan sikap Panca yang diam saja seperti ini. Kalau sudah begini, Karel yakin ada yang tidak beres dengan cowok satu ini.

Panca tetap diam. Ia tak memperdulikan pertanyaan Karel. "Pan, lo marah?" Ulang Karel sekali lagi.

Masih tak ada jawaban dari Panca.

"Marah kenapa?" Karena tak ada jawaban dari sang adik, Karel pun mengganti pertanyaannya. Ia pun sudah yakin, pasti adiknya itu sedang marah.

"Jawab dong,"

"Pan?"

"Gue min--"

"Iya." Singkat, padat, jelas.

Panca akhirnya menjawab pertanyaan Karel dengan datar dan pandangannya pun masih sama seperti tadi, ke luar jendela, seolah hal di luar sana lebih menarik untuk diperhatikan. Karel menghembuskan napas lega. Seharusnya, Karel tidak tenang dengan jawaban cowok itu, tetapi yang membuat ia lega adalah Panca akhirnya menjawab pertanyaannya.

"Kenapa?"

"Pikir aja sendiri,"

Sebenarnya ada kekesalan di hati Karel. Tapi ia juga tak kuasa menyampaikan kekesalannya pada sang adik, jika situasinya sedang seperti ini.

"Ya udah, maaf deh!" Karel berucap sambil terus fokus menyetir.

"Gak mau. Lo aja gak tau kesalahan lo apa!" Hardik Panca masih dengan posisi yang sama.

"Ya udah makanya kasih tau,"

"Gak mau!"

"Kok gitu?!" Karel mengalihkan atensinya pada sang adik sebelum akhirnya menginjak rem untuk menghentikan laju mobilnya, yang telah terparkir rapih di parkiran SMU Pancasila.

"Biar introspeksi diri!" Panca keluar dari dalam mobil kemudian menutup pintunya dengan sedikit keras, membuat si pengemudi di dalam terlonjak kaget.

🍃🍃🍃🍃

Langkahnya ia coba sejajarkan dengan langkah pria di depannya. "Marah kenapa sih, Pan?" Karel masih kekeuh bertanya pada cowok yang berstatus sebagai adiknya itu.

PANCASILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang