9. Dia Diikuti??

216 11 39
                                    

Jika ini adalah ketertarikan semata,
lantas kenapa aku terluka hebat karenanya?

_____________________________

Pelajaran berakhir dengan cepat, berbeda dengan hari biasanya. Dikarenakan diadakannya rapat guru dadakan yang mengharuskan pihak sekolah memulangkan anak muridnya lebih cepat.

Tentu saja itu menjadi kabar gembira untuk para murid SMU Pancasila. Mereka bersorak ria di parkiran sana, seperti baru saja memenangkan undian berhadiah jutaan rupiah.

"Kafe dulu yuk. Kapan lagi coba ada kesempatan pulang cepet kayak gini," ajak Dikky pada kedua sahabatnya.

"Kuy!" Galih berujar ceria.

"Lo gimana, Pan?" Dikky kembali bersuara.

"Bilang Bang Karel dulu, ya?!" Pintanya, yang dihadiahi anggukan dari kedua sahabatnya.

Langkah ketiganya diarahkan ke arah parkiran khusus motor di sebelah sana. Ketiganya, duduk manis di atas motor-motor yang terparkir rapih di parkiran ini. Duduk diam tanpa ada yang mau angkat bicara. Hingga suara Dikky memecah hening yang sempat tercipta.

"Tuh, Bang Karel." Tunjuknya pada cowok yang sudah tak asing lagi di mata ketiganya.

"Ya udah, samperin yuk." Kini Galih yang berujar.

"Gak usah, panggil aja, suruh ke sini." Panca ikut berkomentar.

"Bang Karel," teriak Galih kencang, berharap orang di seberang sana mendengar.

Langkah Karel terhenti ketika sebuah suara memanggilnya. Matanya meliar, mencari sumber suara yang meneriaki namanya.

"Sini, Bang." Galih kembali berteriak, setelah matanya sempat beradu pandang dengan mata hitam Karel.

Karel berjalan santai mendekat ke arah adik dan kedua sahabat adiknya. Ia pikir Panca tengah menunggu di mobil, tapi ternyata sang adik masih duduk manis di atas motor milik Dikky.

"Kenapa gak langsung ke mobil?" Karel bertanya setelah benar-benar menghentikan langkahnya. Atensinya diarahkan ke Panca yang masih diam di posisinya.

"Gue, ke kafe bentar ya, sama mereka?!" Panca to the poin.

"Naik motor?" Karel kembali bertanya.

Panca menganggukan kepalanya.

"Gak ada!" Larang Karel akhirnya.

"Kita gak ngebut kok, Bang!" Suara berat Dikky kini terdengar. Mencoba membantu sang sahabat untuk meminta izin.

"Iya, janji gak akan kenapa-kenapa." Galih ikut membantu.

"Tetap aja naik motor, 'kan?!" Karel masih kekeuh dengan pendiriannya.

Panca memutar bola matanya malas. Kakaknya ini memang sangat menyebalkan. Ingin pergi main saja, susahnya minta ampun, apalagi jika minta izin untuk menikah nanti. Mungkin Panca dibuat pusing bukan main nantinya.

"Ini gak boleh, itu gak boleh, maunya apa sih?!" Panca berujar kesal.

Mendengar penuturan sang adik, Karel merasa bersalah. Tadi pagi saja ia sudah bingung harus menghadapi Panca seperti apa, apalagi jika sekarang Panca kembali bertambah marah padanya. Masalah tadi pagi saja belum usai, dan sekarang sudah ada masalah baru. Pasti akan sangat sulit untuk mendapat kata maaf dari anak itu.

Akhirnya, Karel luluh. Ia tak mau memperpanjang masalah yang akhirnya membuat Panca berulah. Biarlah saat ini ia mengalah, pada sang adik yang egonya masih belum lelah.

PANCASILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang