10. Obsession

124 6 26
                                    

Pernah berpikir betapa sulitnya menjadi aku?
Berjuang sendiri, peduli sendiri, mencintai dan merindupun sepertinya aku sendiri.
Tapi tolong, jangan sebut ini sebagai Obsesi!

__________________________

Malam ini Karel sedang menyelesaikan dokumentasi Osis. Pasalnya, beberapa hari lagi Osis sekolahnya akan ikut berpartisipasi dalam seminar triwulan yang akan diadakan di SMA Agung Jaya. Tangannya dengan lihai ia gerakkan di atas keyboard laptopnya. Ia harus berulang kali menghapus kemudian mengganti bila saja ada kata yang salah. Ia tak biasanya seperti ini. Pikirannya seolah tak fokus pada apa yang kini tengah ia kerjakan.

Ia melirik sekilas pada ponsel di samping laptopnya. Meraih benda pipih berlogo apel ynag tidak utuh itu dan mengetikkan beberapa digit angka yang dijadikan sandi ponselnya.

Karel membuka aplikasi WhatsApp dan terteralah nama Panca di layar pesan paling atas. Ia membuka pesan dari adiknya itu, dan akan membacanya. Namun, notifikasi pada laptopnya mengalihkan atensinya. Ia menekan tombol home pada ponselnya. Sebelum akhirnya menekan tombol power pada sisi pinggir handphone-nya.

Cowok itu membuka email yang masuk. Ternyata dari Sila, sekretaris Osis. Ia melihat isi email yang baru saja dikirimkan oleh rekan Osis sekaligus pacar adiknya itu.

Matanya membaca jajaran kalimat yang tertera jelas di sana. Karel menganggukkan kepala tanda mengerti dan mulai mengerjakan dokumen yang tak kunjung selesai dari tadi. Melupakan pesan dari Panca yang tadi dibukanya, namun belum sempat dibaca.

☀☀☀☀

Malam semakin larut. Jalanan yang Panca lewati juga semakin jauh semakin sepi. Panca mengendarai mobil dengan gelisah. Matanya berulangkali mencuri pandang ke kaca spion. Orang itu, orang berjaket, topi, dan masker serba hitam itu mengikutinya.

Mobil hitam itu kini tepat berada di belakang mobilnya. Panca kelimpungan. Sebisa mungkin ia mempercepat laju mobilnya. Tapi rasanya, semakin ia menambah laju mobilnya, semakin dekat pula jarak keduanya.

Panca menggigit bibir bawahnya gusar. Ia mengambil ponsel di dashboard. Mengecek, apakah Karel sudah membalas pesannya atau belum. Namun Panca semakin dibuat panik ketika hanya melihat ceklis dua berwarna biru disana. Kakaknya hanya membaca pesannya tanpa membalasnya? Apa yang harus ia lakukan?

Karena terlalu lama berpikir, Panca tidak menyadari bahwa mobil hitam itu telah berhenti tepat di depan mobilnya. Ia menginjak rem secara tiba-tiba. Ponselnya juga ikut terjatuh di samping kakinya.

Orang berjaket hitam itu turun dari mobil dan berjalan cepat menuju mobilnya. Ia menggedor kaca mobil dengan kencang.

"Keluar, lo!" Perintahnya.

"Gimana ini?" Panca bingung. Haruskah ia turun?

"Turun gak lo?! Turun atau gue hancurin kacanya?!"

Panca membuka seatbelt nya dan turun dari mobil. Seturunnya Panca dari mobil, pria itu langsung menyerang Panca. Sebisa mungkin Panca menghindar dari berbagai serangan pria itu.

Terjadi aksi saling pukul disana. Panca berhasil membuatnya tersungkur. Tetapi saat Panca lengah orang itu langsung menendang perut kiri Panca. Panca terhuyung sampai akhirnya jatuh ke aspal.

Orang itu berajalan mendekat. Panca bisa melihat orang itu tersenyum di balik maskernya. Orang itu menginjak dada Panca dengan kaki kanannya. Panca tersedak.

Panca kembali terbatuk ketika orang itu semakin menjejalkan kakinya di dadanya. Panca mencoba melepaskan kaki orang itu dengan cara mencengkaramnya.

PANCASILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang