[5] you can do(everything)

307 38 2
                                    

"Orangtuamu sangat baik padaku," ujarku pada Toru saat kami sudah berada di dalam mobil.

"Mereka memang menyenangkan. Sepertinya aku harus mengajarimu bahasa Jepang."

"SETUJU!"

Toru mengajariku kata dan kalimat dasar yang sering digunakan dalam bahasa Jepang. Aku memutuskan untuk memanggilnya Toru-san dan dia memanggilku Rine-chan. Toru fasih berbahasa Inggris, bahkan tidak ada logat Jepang ketika dia bicara padaku. Hanya saja saat dia memanggil namaku terdengar lucu. Mungkin namaku memang terlalu sulit diucapkan oleh orang Jepang.

Jarak antara rumah Toru dan orangtuanya tidak terlalu jauh. Hanya perlu setengah jam dan kini kami sudah sampai di depan rumah Toru. Rumah ini memiliki halaman yang luas. Lingkungan di sini juga tidak terlalu padat. Sangat nyaman untuk sebuah hunian. Mungkin Toru juga memikirkan konsep yang seperti itu.

Kami berdua masuk ke dalam rumahnya. Rumah ini terdapat dua lantai. Di lantai bawah terdapat ruang tamu yang terhubung dengan ruang keluarga. Lalu ada meja bar yang memisahkan ruang keluarga dengan dapur dan pantry. Ada kamar mandi juga. Aku terkesima memandang rumah ini.

Toru membantu membawakan ranselku ke lantai atas dan menaruhnya di salah satu kamar. Aku mengikutinya setelah menaruh tas berisi beberapa camilan dan bahan masakan yang tadi diberi ibunya Toru pada kami di meja bar. Biar nanti Toru saja yang menata isinya, aku tidak mau lancang.

"Kau tidur di sini, aku akan tidur di kamar sebelah. Kalau ada apa-apa, langsung ke kamarku saja."

Di lantai atas hanya ada dua kamar dan ruang santai yang terhubung dengan balkon. Di ruang santai terdapat banyak koleksi gitar milik Toru dan buku-buku yang tersusun dengan rapi. Aku jadi ingin membaca bukunya.

"Arigatou, Toru-san!" Aku tersenyum. Dia mengacak rambutku dan pergi ke luar kamar.

Kok pipiku panas lagi?

Kamar yang kutempati saat ini desainnya sederhana namun sangat nyaman. Di kamar ini juga tedapat kamar mandi dalam. Setelah selesai mandi dan berberes, aku keluar kamar.

*

Toru mengajakku jalan-jalan sore di sekitar rumahnya, katanya tidak jauh dari sini ada tempat yang sepi dan indah. Kami berdua jalan kaki menyusuri jalan setapak. Ternyata jalanan ini membawa kami ke sebuah taman yang tidak terlalu luas.

Tidak seperti biasanya, kini Toru tidak memakai masker. Pakaian yang dipakai pun pakaian rumahan. Kaus hitam berlengan dan celana denim sebatas lutut. Berbeda sekali dengan saat kami bertemu di kedai ramen, Ginkgo Avenue, saat kami bicara di private restaurant, atau saat dia berkunjung ke penginapanku.

Saat itu dia selalu memakai jaket, topi, serta masker. Meskipun dia sempat melepas 'hal wajib' itu saat di private restaurant dan di penginapanku. Toru merasa nyaman di tempat ini. Katanya tidak ada media yang tahu kalau dia punya rumah sendiri di Osaka. Yang mereka tahu hanya apartemennya di Tokyo.

Osaka berada di bagian barat jadi suasananya tidak jauh berbeda dengan di Tokyo. Aku sangat menikmati suasana di sini. Dan lebih menyenangkan lagi karena aku di sini bersama dengan seseorang.

Aku berjalan mendahului Toru dan duduk di bawah pohon. Dia mengikuti dan duduk di sebelahku.

"Terimakasih karena sudah mengajakku ke sini, Toru-san! Aku menyukai ini," ujarku tulus padanya.

Dia tidak menjawabku. Alih-alih mengubah posisi duduknya menjadi berbaring telentang dengan satu tangannya sebagai bantalan.

Hanya hembusan angin dan suara gesekan daun yang menjadi fokusku saat ini. Tidak ada obrolan apapun sejak tadi. Aku menoleh ke arah Toru, ternyata dia tertidur. Aku memperhatikannya cukup lama. Dia tipe orang yang tidak banyak bicara namun sebenarnya sangat peduli.

Tanganku bergerak untuk menyentuh rambutnya. Belum sempat tersentuh, dia membuka matanya. Aku hendak menyingkirkan tanganku dari wajahnya, namun dia menahannya dengan satu tangannya yang lolos. Mata kami bertemu.

Aku takut pipiku merah menjadi kepiting rebus.

"Sudah mulai gelap, ayo pulang!" Dia melepas genggamannya. Aku kelabakan dan berdiri lebih dulu. Toru mengikutiku berdiri. Dia berjalan lebih dulu dan aku mengikutinya di belakang. Namun tiba-tiba dia menoleh dan menggenggam tanganku untuk berjalan di sebelahnya.

deg deg deg

Apa ada yang salah dengan jantungku? Semoga saja Toru tidak menyadari suara jantung sialan ini. Toru tidak melepaskan genggamannya selama perjalanan pulang.

Halaman rumah Toru bahkan sudah mulai terlihat, namun dia masih betah seperti ini. Mungkin bukan hanya dia yang betah. Mengapa genggaman tangannya terasa pas digenggamanku?

*

Seandainya saja tadi aku tidak bilang padanya kalau aku ingin pergi ke kamar mandi, mungkin dia masih belum melepas genggamannya.

Sial. Kenapa aku jadi malu begini? Apa aku harus bersikap biasa saja nanti? Ah, tentu saja. Lagi pula Toru juga pasti biasa saja.

Aku baru saja turun dari tangga. Ternyata ada Toru yang sedang memasak makan malam di dapur. Aku menghampirinya, dia sedang mengiris jamur menjadi kecil-kecil.

"Aku tidak bisa memasak tapi aku ingin membantumu, Toru-san," ujarku di sebelah Toru.

Toru tertawa. "Kau iris saja bawang putih dan daun bawang itu."

"Kau akan membuat apa?" tanyaku.

"Yakimeshi. Ini seperti nasi goreng," jawabnya.

Meskipun agak kaku, namun aku berhasil melakukannya. Toru mulai memasukkan jamur dan hasil irisanku tadi ke dalam wajan yang telah diberi sedikit minyak dan kecap asin. Dia mengaduk-aduknya sebentar sampai jamurnya matang.

Setelah itu dia memasukkan kocokan telur dan kembali mengaduknya. Dia memintaku mengambilkan nasi untuk dua porsi.

"Kok ada nasi?"

"Aku tadi membuatnya sebelum kita jalan-jalan." Toru memasukkan nasi ke dalam wajan.

Hm. Suami-able.

Setelah selesai dengan masakannya. Dia membagi yakimeshi itu untuk dua piring dan meletakkannya di meja bar. Aku menyiapkan dua gelas air putih. Dan kami makan berhadapan.

Duh, kok seperti pasangan suami istri?

Setelah makan dan mencuci peralatan yang kotor, kami berdua naik keatas dan duduk di ruang santai. Toru sedang memainkan gitarnya. Dia sudah izin untuk tidak ikut latihan dengan bandnya selama dua hari, jadinya dia latihan sendiri. Sedangkan aku sibuk dengan ponsel.

Karena seharian ini aku belum membuka ponsel sama sekali, notifikasiku menumpuk.

Grupchat: skip
Notifikasi medsos: skip
Belasan panggilan tidak terjawab dari pihak penerbit. Wow. Perbedaan waktu Jepang dan Indonesia hanya dua jam, jadi ini belum terlalu malam. Aku buru-buru menelepon balik dan mengatakan kalau ending novelku akan selesai dan segera kukirim.

Toru terus menatapku saat aku sedang telepon. "Ada apa?" tanyanya saat aku sudah menutup sambungan telepon.

"Bukan apa-apa, pihak penerbit ingin aku segera mengirim naskah ending novelku karena harus segera diedit. Aku sudah memikirkan itu, jadi bisa segera kukirim," jelasku.

"Memangnya novel seperti apa yang kau tulis?"

"Kisah cinta."

"Tulis saja dengan happy ending. Bukankah semua bentuk cinta adalah kebahagiaan?"

"Tapi tidak semua kisah cinta akan berakhir bahagia," ujarku tidak setuju.

"Bukan kisah cinta namanya jika tidak bahagia. Hanya saja tidak sedikit orang yang akhirnya memilih untuk tidak bahagia," ucap Toru puitis sekali.

Benar juga. Tidak mungkin ada kisah cinta jika tidak ada kebahagiaan. Mereka yang saling jatuh cinta pasti bahagia. Dan mereka yang berpisah dengan pasangannya berarti memilih untuk tidak bahagia.

Aku sedikit berpikir. "Kau benar, Toru-san."

Malam ini aku menghabiskan waktu untuk menyelesaikan ending novelku di ruang santai rumah ini. Ditemani Toru yang masih setia memetik gitarnya.

*****

Arigatou, Toru-san! | Toru Yamashita [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang