[2] The Beginning

393 51 3
                                    

Aku tidak langsung kembali ke penginapan dan melanjutkan jalan-jalanku. Aku berjalan kaki mengikuti petunjuk arah di jalan dan di ponselku ke suatu tempat, aku lupa namanya. Ini adalah sebuah taman yang tepat untuk menikmati musim gugur.

Mulainya musim gugur tidak sama di tiap daerah, jadi waktu perubahan warna daun tanaman di musim gugur berbeda di tiap kotanya. Tidak langsung terjadi di awal musim karena pergerakannya dari utara ke selatan.

Karena Tokyo berada di bagian timur, pohon-pohon di sini belum terlalu menguning. Cuaca di sini juga masih cukup dingin. Namun tidak mengurangi keindahan taman ini. Banyak anak muda yang sedang menikmati suasana ini dengan berfoto atau sekadar duduk-duduk di kursi yang tersedia. Banyak juga para orangtua mengikuti anaknya yang sedang bermain sepeda. Sudah lama sekali aku tidak merasakan perasaan sedamai ini.

Setelah berjalan-jalan sebentar, aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku. Lalu mengeluarkan ponselku dari dalam saku cardigan untuk menulis ide yang tiba-tiba muncul untuk ending novelku. Aku memang sengaja meninggalkan tas dan macbook di penginapan karena tidak mau ribet.

Aku mengambil fotoku dengan latar belakang pohon-pohon ini. Aku juga mengambil beberapa gambar kegiatan orang-orang di sini. Mereka tampak bahagia, tanpa sadar membuatku ikut tersenyum.

"Kita bertemu lagi."

Spontan aku menoleh setelah mendengar suara pria di sampingku. Kupikir pria ini tidak bicara denganku karena dia hanya berdiri dan tidak sedang menatapku. Aku mengabaikannya.

Namun tiba-tiba dia duduk di sebelahku. Aku spontan berteriak dan berdiri.

"Hei, kau lupa padaku?" ujar pria itu tenang.

Aku menatap dengan lebih jelas pria bermasker yang kini juga menatapku. Mencoba mengingat. "Ah, maafkan aku. Kau yang di kedai ramen tadi pagi, 'kan?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk.

"Tapi kenapa kau tidak pesan apa-apa tadi?" tanyaku penasaran dan kembali duduk.

"Memangnya tidak boleh?" balasnya dengan pertanyaan. Aku mencebik.

"Aku pemilik kedai itu," jelasnya tiba-tiba. Aku mengangguk sekilas dan mendongak menikmati pohon di depanku.

Oh, aku baru ingat. Dia mirip dengan salah satu anggota band yang kulihat di poster itu. Atau apa mungkin memang dia orangnya? Ah, aku tidak peduli. Aku hanya menikmati musik mereka saja. Aku bahkan lupa nama bandnya. Ingatanku memang payah.

"Pohon Ginkgo ini memang indah." Dia ikut mendongak.

"Pohon apa?"

"Ginkgo," sahutnya lagi. Aku jadi ingat nama tempat ini adalah Tokyo Ginkgo Avenue. Sepertinya pria ini orang Jepang.

"Kalau dilihat-lihat, wajahmu mirip sekali dengan salah satu anggota band yang kulihat di poster itu."

"Memang itu aku."

Aku spontan tertawa.

"Kenapa kau tertawa?" tanyanya tampak tidak terima.

"Candaanmu lucu sekali," sahutku sambil menahan tawa dan dia hanya mendengus.

"Oh iya, siapa namamu?" tanyanya lagi. Aku cukup lama memperhatikannya dan tidak langsung menjawab. Aku cukup ngeri jika harus terlalu dekat dengan orang asing. Namun sepertinya dia pria yang baik. Dan mungkin dia juga bisa menjadi temanku selama aku disini.

"Raline."

"Rarin?"

"Ra-line." Aku menahan tawa.

"Raline?" Dia berhasil mengucapkan namaku meskipun dengan pengucapan yang menurutku lucu.

"Aku Toru. Sepertinya kau orang asing, kenapa kau datang ke Jepang?" tanya Toru.

"Ya. Aku orang Indonesia. Sebenarnya aku melarikan diri. Entahlah aku juga bingung. Di satu sisi, aku memang sedang melarikan diri. Di sisi lain, aku juga harus menyelesaikan naskah novelku selama di sini."

"Kau seorang Novelis?"

"Hanya hobby dan kebetulan ada penerbit yang tertarik dengan beberapa tulisanku."

"Ah, seperti itu."

"Kau orang Jepang kan? Bahasa Inggrismu cukup bagus," ujarku padanya. Karena setahuku tidak banyak orang Jepang yang bisa bahasa Inggris.

"Ya, aku asli Jepang. Dan soal bahasa Inggrisku, ini memang cukup membantu dalam pekerjaanku."

"Memangnya apa pekerjaanmu?"

Toru tidak menjawab pertanyaanku. Dan baru kusadari pertanyaanku memang terlampau bodoh.

"Ah, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengorek privasimu. Kau tidak perlu menjawabnya." Aku mengaitkan rambut ke belakang telinga kikuk.

Dia tertawa. "Tidak apa-apa. Aku hanya sedang berpikir. Kau kan sudah tahu pekerjaanku."

"Aku?"

Toru kembali tertawa melihat reaksi bodohku. "Aku harus pergi latihan sekarang," ujarnya padaku. Aku mengangguk.

Latihan?

"Boleh aku meminta nomor ponselmu?" Toru menyerahkan ponselnya padaku.

Aku berpikir sejenak.

"Tentu."

*

Aku segera menyalin ide untuk ending novelku pada macbook. Aku jadi teringat Toru. Dia bilang, aku sudah tahu pekerjaannya. Ah, dia kan pemilik kedai ramen itu. Mungkin itu maksudnya.

Aku mencoba mengingat nama band yang disebutkan Toru tapi tidak ada hasil. Akhirnya aku mencari informasi melalui ponsel.

"Band yang Terkenal di Jepang"

klik

ONE OK ROCK

Ah, benar. Banyak artikel tentang band ini. Aku membacanya dan, tunggu

Toru Yamashita: guitarist, bandleader.

Jadi dia tidak bercanda kalau dia memang anggota band itu?

*****

Arigatou, Toru-san! | Toru Yamashita [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang