"Pagi semuanya", kusapa semua orang saat aku berjalan melewati kubikelku, aku menenteng satu tas pakaian agak besar selain tas kerjaku, karena hari ini aku ada meeting ke luar kota. Sebenarnya aku agak sedikit malas karena minggu lalu aku baru saja pulang dari Jogja, tapi aku tidak bisa memberikan pekerjaan kali ini pada orang lain. Aku yang mengurusi langsung proyek untuk membuat iklan salah satu hotel di Bandung.
"Pagi, Sya" teman satu divisi ku, Gita sudah datang lebih dulu dan menyambutku dengan segelas kopi panas buatannya.
"Makasih, Bab", kuterima gelas darinya, berterima kasih pada Gita yang setiap pagi selalu menyambutku dengan kopi panas buatannya. Walaupun sebenarnya aku bukan seorang penggila kopi seperti dia.
Dari pertama aku bekerja tiga tahun lalu disini, Gita memang langsung jadi teman akrabku, pembawaannya yang periang dan so akrab. Supel dalam bahasa gaulnya, menjadikan dia mudah bergaul, tidak cukup sulit bagi dia untuk membuat aku langsung merasa nyaman dengannya.
"Gimana hari ini ke Bandung? Seneng dong bisa sekalian jalan jalan!" Gita memangku satu tangannya pada tangan lain sedangkan tangan satunya memegang cangkir kopi.
"Jalan jalan apa?, gua disana gak sampe tiga hari, seharian penuh buat meeting dan lainnya, besoknya gua langsung pulang. Kalo meetingnya gak dijadwalkan selesai sore gua juga pengennya langsung pulang, gak harus nginep sehari lagi". Kunyalakan komputer didepanku untuk langsung mengecek bahan bahan yang akan aku bawa ke Bandung, di print dan dibuat salinannya di laptop ku, jaga jaga kalau nanti hilang atau ada error.
Aku tidak bisa ambil resiko kehilangan materi untuk rapat, aku sudah terbiasa menyiapkan semuanya dari jauh jauh hari, kalau perlu aku selalu mengecek berulang kali barang yang akan kubawa.
"Lumayan aja Sya, lo bisa curi curi waktu buat makan serabi di Setia Budi, makan nasi liwet di Punclut sambil ngeliat taburan lampu kota bandung di malam hari". Tangan Gita melayang layang di udara seolah dia sedang berpuisi, aku tau dia sedang mengolok olokku.
Pemandangan seperti itu lebih enak dinikmati dengan orang tersayang atau setidaknya pasangan, kalau aku yang pergi sendirian menikmati indahnya lampu kota Bandung dari ketinggian seperti itu, bisa bisa aku dikira orang bego yang kesepian, yang ada malah bikin baper.
Aku memonyongkan bibir ku acuh dengan olokannya. Disana nanti aku masih bisa mencuri curi waktu buat mencari kuliner khas sana, tidak harus sambil ditemani bintang malam agar tidak terlalu menyedihkan. Pokoknya asal jangan ditempat yang romantis.
"Kalo gua titip oleh oleh mau gak?". Tanyanya kemudian.
"Apa? Tapi gua gak janji ya!". Aku mulai menge print bahan bahan untuk kubawa nanti.
"Gua pengen pisang molennya itu loh, gak susah ko". Gita jadi ketagihan pisang molen dari tempat kue yang pernah kujadikan oleh oleh juga untuknya pas beberapa bulan lalu aku ke Bandung.
"Gua gak janji ya, kalo sekalian lewat gua beliin, tapi kalo sengaja gua gak bisa".
"Bisa bisain, gua lagi ngidam nih Sya". Gita mengancamku dengan ocehannya, dia baru menikah seminggu yang lalu, dan walaupun dia langsung hamil, terlalu cepat juga sepertinya untuk dibilang ngidam. Ini juga yang jadi alasan kenapa Gita tidak bisa mewakilkan tim kami pergi ke Bandung, semenjak jadi pengantin baru dia jadi agak kurang profesional, selalu menolak kalau diberi pekerjaan keluar kota. Aku lumayan bisa memaklumi karena dia baru menikah, asal jangan selamanya saja dia seperti ini.
"Gua kan gak bawa mobil sendiri Git, gak enak kalo minta sopir kantor buat anter gua kemana mana". Alasanku cukup mendukung, gak enak hati.
Sebenernya aku gak bener bener sendiri, bakal ada orang dari cabang sana juga yang bakal menemani aku disana nanti.
Aku bakal berangkat dari sini naik kereta, mobil kantor cabang bakal menjemput aku disana untuk mengantar aku ke tempat tujuan.
Aku tidak ingin terburu buru waktu, jadi lebih baik untuk lebih cepat berangkat ke stasiun Gambir sejam lebih awal. Aku juga sudah tidak ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan lagi di kantor, kedatanganku hanya untuk mengambil berkas dan melapor tentang keberangkatanku pada Bu Lani, Manajerku. Sebelumnya kuputuskan untuk makan terlebih dahulu di kantin, karena aku akan merasa tidak nyaman kalau harus makan sendirian di kereta. Aku bisa istirahat walaupun sebentar, jarang jarang aku punya waktu banyak untuk istirahat di jam jam sibuk seperti itu.
Keretaku berangkat jam dua jadi sehabis makan siang aku langsung berangkat ke stasiun diantar mobil kantor. Bandung bukan tempat yang asing bagiku, beberapa tahun lalu aku pernah bekerja di Bandung, disana sudah banyak kenangan, yang menyedihkan dan juga menyenangkan, termasuk rasa cinta.
Tapi itu masa lalu. Saga mantan pacarku sudah menikah dengan orang lain, kita putus baik baik walaupun itu cuma di mulut saja. Kalau sekarang aku bisa bilang aku baik baik saja. Tapi, waktu itu banyak celaan terucap dan juga air mata yang terbuang, Saga tidak sengaja menghamili wanita yang baru ditemuinya. Katanya, karena menghamili dengan kata tidak sengaja rasanya tidak masuk ke otak manusia. Aku jelas tidak percaya kalau itu bukan kesengajaan, walaupun dia bilang saat itu tidak sadar karena pengaruh alkohol, tapi mereka sudah sama sama dewasa untuk tau apa yang dilakukannya. Jadi tanggung jawab adalah konsekuensi nya.
Itu memang penghianatan, penghianatan yang sangat besar. Tapi kehamilan wanita itu hanya sedikit saja dari sebagian alasan perpisahan kami. Cekcok yang berulang seringkali dianggap biasa, tidak ada pemecahan masalah yang bener bener diselesaikan. Saat kita berdua menganggap bisa saling melupakan keegoisan karena merasa katanya masih saling cinta. Tapi, hal itu terus terulang kembali saat pertengkaran selanjutnya terjadi.
Makannya, saat Saga bilang ada wanita yang tengah mengandung hasil perbuatan khilafnya, aku anggap itu sebagai pertanda bahwa hubungan kami memang harus berakhir. Kalau sebelumnya kita masih menelan rasa kecewa terus menerus karena takut kehilangan, dengan hadirnya wanita itu aku jadi punya keberanian, tidak apa apa menangis sementara, bahkan aku bisa mengeluarkan emosiku yang kadang tertahan.
Saga juga menangis saat itu. Entah karena perasaannya memang tulus padaku atau hanya rasa bersalah saja. Dia meminta waktu padaku sampai wanita itu melahirkan, akh....Gila. Aku juga wanita, aku tidak setega itu. Apalagi hubunganku juga ternyata tidak sekuat itu untuk dipertahankan.
Perpisahan itu banyak memberi ku efek di awalnya, aku kalut karena kehilangan laki laki yang sudah hampir tiga tahun bersamaku. Aku keluar kerja dan melamar ke perusahaan sekarang tempatku bekerja dan minta ditempatkan disini, di pusat. Memang agak susah, tapi dengan berbagai test yang kujalani akhirnya pekerjaan ini kudapatkan.
Keluargaku bahagia saat aku memutuskan kembali ke Jakarta, mereka bisa lebih dekat denganku, berkumpul lagi dengan mereka juga jadi kekuatanku di masa masa awal kesedihanku.
Pertanyaannya, apa sekarang aku masih trauma?.
Tidak sama sekali. Atau mungkin. Aku seringkali mempertimbangkan akan memulai hubungan lagi saat ada beberapa laki laki yang mendekatiku, tapi kadang kala setelah beberapa kali bertemu aku merasa tidak ada kecocokan. Aku tidak mau terburu buru cuma karena omongan Ibu yang ingin aku cepat menikah.Mengapa semua itu hanya terdengar seperti alasan!.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya Dallas
Romance*Terdapat beberapa konten untuk 21+, harap pembaca bijak. Hidupku berubah dalam satu malam. Hanya karena matanya yang seperti bulan sabit saat tersenyum, bibir tipis yang selalu menyunggingkan senyum jahil, dan alis matanya yang lebat terukir rapi...