Sepuluh

7 1 0
                                    

Sesuai judul bab.

Ini sudah hari kesepuluh sejak hari itu.

Rendy baru tiga hari lalu ikut grup musik. Untuk menyalurkan sedikit perasaannya.

Rendy duduk termenung disudut lorong, gitar yang ada dipangkuannya hanya ia petik sesekali.

Ia melihat ke lorong.

Sekolah sudah mulai sepi. Mungkin ia akan disini sampai sore. Entah untuk apa.

Turun dari lantai atas seorang gadis dengan rambut dikuncir satu, Amina melihat Rendy. Yang juga menatapnya.

Rendy mengangkat tangannya tanda menyapa.

Amina tersenyum tipis.

Saat ingin berlalu untuk pulang. Rendy meneriaki namanya, yang membuat Amina berhenti.

Rendy tiba disampingnya dengan napas terengah-engah.

"Hari ini ada acara nggak?"

Amina menggeleng.

"Jalan yuk?"

Amina mengangguk.

"Kamu pulang sama siapa?" Rendy celingak-celinguk.

"Kakak aku udah nunggu didepan." ucap Amina tanpa menatap Rendy.

"Ohh, yaudah nanti aku jemput ya."

Amina mengangguk, lalu berjalan pergi.

Rendy cukup merasa senang. Ia segera bergegas pulang.

_

Tidak menyangka bisa seperti ini.

Keadaan begitu hening.

Mereka sudah berada di kafe ini sejak satu jam yang lalu dan tidak ada sama sekali pembicaraan.

Amina membawa laptop. Dan sedari tadi gadis itu sibuk dengan laptopnya.

Sementara Rendy mencoba fokus dengan permainan onlinenya, namun tidak bisa.

"Kamu lagi ngapain sih?" Rendy menarik paksa laptop Amina.

Dilihatnya dua gambar laki-laki dilayar itu, dan satu lagi perempuan ditengahnya.

"Ini siapa?"

"Itu kamu," Amina menunjuk gambar laki-laki yang mengenakan jaket. "Ini Dimas," lalu laki-laki yang mengenakan hoddie, dan terakhir Amina menunjuk perempuan yang berada ditengah-tengah. "Ini aku."

Rendy menatap Amina, tak mengerti. Sorot mata gadis itu dingin.

"Kenapa kamu gambar ini?"

"Karena aku.. kehilangan kalian berdua." Amina menyembunyikan air matanya, ia menunduk.

Rendy menutup laptop milik Amina dan menatap pemiliknya. "Lo nggak kehilangan gue," ucapnya.

"Kamu tau nggak?"

"Apa?"

"Dimas ninggalin aku persis kayak kamu ninggalin aku. Tiba-tiba berubah dan minta putus. Padahal aku nggak tau salah aku dimana, aku cuma jujur. Aku bilang ke Dimas kalau aku takut pacaran sama dia, nanti urusan dia keganggu. Dia itu ketua osis, aku nggak mau dia dicap jelek cuma gara-gara sering jalan sama aku. Dan kamu, aku jujur sama kamu kalau aku kangen Dimas supaya kamu nggak cuek lagi sama aku. Dimas sering jalan sama aku, aku juga mau kamu gitu. Aku sayang sama kamu, sama Dimas. Tapi selalu salah dimengerti cuma gara-gara aku nggak ngerti cara nyampein yang bener kayak gimana." jeda, "Sekarang gara-gara aku sendiri, aku kehilangan kalian."

Rendy tidak sanggup menahan air matanya, ia membuang tatapan sembari menahan agar air matanya tidak jatuh.

Ternyata ia salah. Jadi ini yang sebenarnya?

"Makanya aku minta peluk sama kamu waktu itu. Agar aku bisa ngeyakinin diri aku bahwa kamu pernah sayang sama aku dan aku nggak kehilangan itu. Supaya aku nggak sedih. Tapi tetep aja, rasanya beda. Setiap aku ngeliat kamu. Kayak aku mikir 'kok bisa kita jadi sejauh ini'. Aku sering liatin kamu diem-diem, tapi kamu nggak pernah sadar. Aku begitu cuma karena aku kangen dan nyesel 'kenapa aku begitu waktu itu' dan 'kenapa bisa sejauh ini'." jeda, "Kalau dari awal aku tau bakal begini lagi ujungnya, lebih baik kita nggak pernah saling mengenal."

"Sakitnya sama." Jeda, "Kamu persis sama Dimas."

"Kenapa?" tanya Rendy pelan.

"Dalam waktu yang sama berhasil bikin aku ngerasa memiliki sepenuhnya dan ngerasain kehilangan sesungguhnya."

"Malam setelah kita putus. Aku nunggu kamu chat aku. Waktu itu aku nggak percaya, dan yakin. Nggak mungkin kamu bener-bener pergi dari aku. Nyatanya, malam itu kamu nggak chat. Dan itu mengubah aku besoknya. Buat berhenti berharap sama kamu, dan yakin, kalau jarak itu ada."

"Kamu nggak pernah ada di kantin." ucap Rendy.

"Karena aku menghindari kamu." Amina menatap Rendy, "Nadia sering cerita kok, kamu ngeliatin dia kayak lagi nyari nyari aku gitu."

"Terus kenapa nggak ke kantin?"

"Ngapain? Emang kalau aku ke kantin kamu bakal nyamperin? Palingan ngeliatin doang." celetuk Amina terang-terangan.

Rendy meringis pelan. "Iya sih.."

"Yakan bener." Amina tertawa kecil.

Rendy diam.

"Jarak itu ada, ren." kata Amina. "Kalau balik lagipun rasanya nggak akan sama."

"Maksud kamu?"

"Kita nggak akan kayak dulu lagi. Pasti kamu bakal inget kalau kita pernah kayak gini, dan aku juga sama. Itu bakal ngerubah sikap kita selanjutnya."

"Terus kamu nggak mau balikan?"

"Aku nggak bilang gitu." Amina sedikit tersenyum.

"Terus?"

"Aku sayang sama kamu."

"Aku juga." Rendy mencodongkan tubuhnya. "Balikan aja."

"Gampang banget kamu ngomongnya." Celetuk Amina sembari tertawa.

Rendy meringis, menggaruk lehernya. "Apa dong?"

"Kamu itu pelarian aku dari usaha melupakan Dimas, jadi kamu wajib bikin aku sepenuhnya lupa sama Dimas."

"Kamu list aja apa yang harus aku lakuin. Pasti bakal aku lakuin." ucap Rendy, serius.

"Bener nih? Nggak bohong?"

"Laki-laki itu yang dipegang ucapannya."

"Oke." []

SOMETHINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang