(ingat)
"Remembering something sad when the heart is fine is a small disaster for someone like him."
***
"Heh."
Zenita yang sangat jarang, bahkan hampir tak pernah dipanggil dengan kata seperti itu lantas mencari ke kanan-kirinya, tapi tak menemukan siapapun. Lalu ia berbalik badan dan tada. Sosok laki-laki yang menatapnya tajam sudah berdiri tiga meter di depannya. Laki-laki itu memakai earphone di sisi kanan telinganya.
"Kamu manggil saya?" Zenita bertanya, setelah tak kunjung menangkap satu suara pun dari sosok yang berdiri di depannya.
Perlahan sosoknya berjalan mendekat, tak pada garis yang sama, tapi berhasil membuat Zenita mengerutkan kening, lantas berpikir. "Ini orang kenapa mau ke sini?"
Gadis itu malah memundurkan langkahnya. Perlahan jarak mereka benar-benar hilang dan dalam hitungan detik hanya sebuah angin kecil dan aroma parfum cokelat yang berhasil Zenita tangkap. Perempuan itu lalu menoleh ke depan lagi. Ternyata laki-laki itu hanya melewatinya.
"GR banget jadi cewek."
Lamat-lamat suara yang sepertinya dari laki-laki itu terdengar. Kemudian Zenita menggigit bibir bawahnya. Kenapa sepertinya orang itu tak asing, ya? Begitu juga dengan rasa kesal akibat kata-kata menyakitkan barusan. Hm, sepertinya gadis itu pernah merasakan perlakuan seperti ini ...
Lamunan Zenita terhenti tepat saat ia dihampiri oleh Raksa. "Udah?"
"Loh, kok jadi jemput? Katanya ada hima?"
"Ya, gue bolos. Demi lo. Udah selesai, kan? Ayo, cabut."
"Loh, tapi aku ada kelas abis ini, Sa."
"Bolos aja kenapa, sih? Sekali aja gue laper. Bentar, gue ambil motor di parkiran, lo tunggu depan gerbang deket KWU. Gue nggak lama." Raksa bergegas, tetapi sebelum itu mengecup pipi kiri Zenita dengan kilat, sedangkan tangannya mengelus rambutnya pelan tak kalah cepat.
Zenita terdiam. Lantas mengeluarkan ponsel, tadi dia sudah diamanahi Pak Samsul untuk mengumumkan kalau beliau absen kan? Perempuan itu mengecek roomchat, untung saja Pak Samsul sudah mengirim file bahan ajarnya, ia langsung bisa me-foward ke grup kelas.
"Yang satu bego, yang satu berengsek. Cocok, sih."
Zenita menengok ke depan, lagi-lagi menemukan laki-laki yang mengatainya GR sedang ... duduk di kursi yang ada di pinggir jalan sepanjang fakultas FMIPA. Tunggu! Berarti, dia melihat Raksa yang ...
Laki-laki itu masih bersidekap sambil melihatnya dari jarak kurang lebih sama dengan posisi tadi. Lalu, sebuah motor datang. Bukan milik Raksa, sebab motor itu metic sedangkan milik Raksa bukan dan berasal dari arah fakultas *FBS. Seorang perempuan, dengan rambut yang lumayan panjang dan pakaian yang bisa dibilang bagus.
"Ngapa lama amat, sih!"
"Salahin Pak Samsul jangan gue."
"Ah, babi emang tu bapak. Udah ayok, naik. Jojo nunggu gue, nih!"
Lebih babi mulut lo, Ses .... Raiden mengembuskan napas lewat mulut lelah.
"Nggak usah berisik. Tuh, ntar dipelototin orang."
Perempuan yang sejak kedatangannya sudah ngegas lalu menoleh kanan, sebab sebelah kiri hanya ada Raiden, dan di situlah Sesa melihat seorang perempuan yang sepertinya baik-baik--terlihat dari pakaiannya yang sopan, tapi tidak dengan matanya yang melihat dirinya juga Raiden seperti mata kucing melihat tulang ayam.
"Lo kalo liatin gue ampe nggak berkedip gue sumpahin kena bisul di mata, ya, Mbak!" Ya, begitulah Sesa. Bukan Sesa namanya kalau tidak gila. Setelah berteriak begitu, motor Sesa pergi, Raiden hanya tersenyum tipis. Apalagi ekspresi cengo yang perempuan tadi perlihatkan.
"Cewek bego."
"LO NGATAIN GUE? SIALAAAN! TURUN, LO CEPET!"
"Tai ngerem lo ngegas banget, Ses! Lagian, bukan lo! Cepet jalan lagi."
"Ngatur lo! Jadi penumpang aja bawel! Lagian lo ngatain orang lain bilangnya sama gue. Ya, siapa yang nggak salah paham!"
"Diem, deh. Polusi lo kalo ngomong, Ses."
"Gue gebuk lo sampe kosan, ya, Rei!"
"Gue bunuh si Jojo kalo gitu."
"... Lo tega bikin sahabat lo jadi janda?"
"Bangst, lo hamil?"
"Babi! Ya, nggak lah!"
"Lah, terus? Napa ngomong 'janda'? Emang lo nikah sama Jojo?"
"Ya ... belum"
"Cape gue ngomong sama lo."
"Ya, lo juga, sih, ngomongnya kurang ajar!"
Dan perdebatan antara Sesa-Raiden terus berjalan sampai depan pintu kosan mereka berdua yang berada di satu pemilik yang sama, tetapi bangunan yang berbeda. Dua laki-laki dan perempuan ini memang sudah kenal lebih dari lima tahun, sayangnya adu mulut tak pernah absen apabila keduanya bertemu.
"Eh, ngomong-ngomong, tu cewek yang tadi liatin kita tu siapa?"
"Mana gue tahu."
"Kalo nggak kenal masa liatinnya begitu. Kek ngegep begitu."
"Emang suka melotot kali orangnya."
"Ah, nggak. Pasti kenal lo, deh. Ngaku!" Bersamaan dengan tuduhan yang tiba-tiba itu mendadak motor yang Sesa kendarai oleng. Raiden langsung memegang jok antisipasi kalau jatuh, tapi untung saja tidak.
"Nanti dulu ngobrolin tu orang, lo heboh banget cerita sampe motor oleng."
"Ah, kok lo mencurigakan gitu, sih? Kek nggak mau gue tahuuu!"
"Lo barusan mau bikin motor ini jatuh, Bego!"
"... YA, SORRY! NGGAK USAH TERIAK ELAH! JANGAN-JANGAN DIA NAKSIR LO, YA? APA DAH JADIAN KALIAN?"
"Serah lo lah mikir apaan."
Ya, Raiden akan bersuka hati untuk menyerah atas tuduhan gila yang baru saja Sesa layangkan. Mau bagaimana lagi? Tak berguna berdebat dengan seorang seperti gadis Jogja itu. Toh, kenyataannya tak begitu, kenapa juga akhir-akhir ini dia sering bertemu dengan perempuan itu, sih? Ck. Membuat Raiden rasanya ingin pulang ke rumah.
***
*FBS : Fakultas Bahasa dan Seni
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent In The Rain
Ficção Adolescente𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠𝐚𝐝𝐮𝐥𝐭 15+ || 𝐂𝐚𝐦𝐩𝐮𝐬 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 Zenita itu seperti titik di mana angin tenggara dan angin timur saling bertemu, iya benar, dalam dirinya memang seriuh itu. Sedangkan Raiden ia adalah wujud dari guntur ketika hujan. Sesuatu yang t...