𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 9 : 𝐃𝐢𝐜𝐡𝐭𝐛𝐢𝐣

33 3 0
                                    

(dekat)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(dekat)

"At first our closeness was sweet, then for some reason it slowly became bland and ended bitterly"
***

SMA Nusa Bangsa, 10 November 2018

"Lo semua minggir. Sebelum gue panggil guru."

"Ah, nggak seru lo, Sa! Nanggung, nih. Dah nangis, tinggal minta pindah sekolah aja iya nggak? Hahaha."

Laki-laki yang baru saja menyuruh kumpulan anak-anak untuk pergi itu mendekat ke salah satu dari mereka, Rion namanya, si empu melihat dengan kilat mata tak suka, apalagi ketika tangan sosok laki-laki itu menekan bahu pemuda yang dikenal di kalangan guru dan anak OSIS karena tingkahnya yang merepotkan. "Lo kira lucu?"

Belum ada jawaban, Raksa menekan bahu pemuda itu lagi. kemudian menarik bajunya, dan menariknya agar menjauh dari gadis yang bersimpuh dan dikerubungi oleh siswa lain.

Rion menepis tangan laki-laki bernama Raksa dengan kasar. "Sialan. Awas, ya, lo!"

Kerumunan yang lumayan ramai perlahan mulai membubarkan diri. Permasalahan bully-ing memang kadang disepelekan oleh sebagain orang, padahal kejadian itu benar terjadi, dan sangat mempengaruhi kehidupan korbannya. Salah satunya adalah gadis berbaju OSIS yang sudah bersimpuh di lantai depan ruang baru dekat seni musik ini.

Laki-laki yang menjadi salah satu anggota OSIS sekaligus alasan kerumunan itu membubarkan diri akhirnya berjongkok. Berita tentang gadis di depannya yang suka di-bully oleh teman-temannya yang lain memang satu-dua kali ramai diperbincangkan anak OSIS, tetapi ya hanya dibicarakan. Bukan dicari solusi atau jalan keluar, karena mereka juga tahu, tak sedikit bapak-ibu guru yang menganggap ini hanyalah fenomena biasa dan berasumsi bahwa sua itu hanya bahan candaan.

"Lo bisa berdiri?"

Gadis itu makin menunduk. Tangannya yang bergetar mencoba merapikan rambutnya yang terlihat kusut di sana-sini. Lalu beberapa sekon setelahnya, ia seperti menjauhkan diri dari si laki-laki dengan menggeser pantatnya ke arah kiri.

"Nggak usah takut. Mereka udah nggak ada dan ... gue juga nggak mau ngapa-ngapain lo."

Gadis itu melihat dari sela-sela poni yang sama berantakannya dengan kondisi rambutnya tadi. Sungguh, sosok yang bersimpuh itu tak pernah menyangka, atau bahkan berharap ditolong oleh seseorang seperti ini, tapi tak bisa dipungkiri kehadiran laki-laki di depannya sungguh membuat gadis itu merasa sangat bahagia. Meskipun, tahu namanya saja tidak.

Raksa menarik bibir tipis, ia kemudian menempelkan punggungnya ke tembok. Kemudian menoleh ke sisi kiri.

"Lo kenapa diem mulu, deh diganggu begitu? Takut?"

Silent In The Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang