Mati satu tumbuh seribu

32 13 7
                                    

"Tha, lo boleh suka sama orang kok."

Mitha tersedak sedetik setelah mendengar ucapan Angga. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Itu artinya mereka sudah kurang lebih tiga puluh menit berada di taman ini. Mitha sedang menikmati es krim yang dibelikan oleh Angga saat laki-laki itu mengucapkan hal yang membuat Mitha terlonjak kaget.

Angga menengok ke samping dan mendapati Mitha sedang menatapnya dengan tatapan bertanya. Lalu laki-laki itu tersenyum.

"Iya, lo boleh suka sama orang."

"Anjrit, ya iyalah! itu mah nenek gua juga tau. lagian sejak kapan nggak boleh?" Mitha mencubit punggung laki-laki di sampingnya.

"Sejak Pak Aji ikutan fashion show." Hanya sekadar informasi, Pak Aji adalah satpam komplek rumah Angga dan Mitha.

Mitha menggeleng heran. Kenapa bisa ia terjebak dengan laki-laki jayus ini?

"Maksud gue, lo boleh suka sama orang lain. Selain gue." Sambung Angga. Laki-laki itu kini tidak berani menatap Mitha. Ia sama sekali tidak mau melihat reaksi gadis yang ada di sebelahnya. Entah, karena ia takut bahwa pernyataannya ini mengecewakan? Atau justru malah reaksi gadis itu yang akan membuat dirinya kecewa.

Sama halnya dengan Mitha, setelah gadis itu mendengar maksud lain dari ucapan Angga, ia sama sekali tidak menengok ea rah laki-laki itu. Tiba-tiba saja, hatinya merasa ngilu. Hati gue lagi sakit gigi apa yak? batin Mitha, sudah jelas itu hanya sebuah pengalihan pikiran agar ia tidak terlalu terbawa perasaan dengan ucapan Angga.

Setelah beberapa menit kemudian. Mitha tersenyum. Gadis itu memutuskan untuk menanggapi pernyataan Angga. "Emang kenapa kalo gue suka sama lo?"

Angga yang daritadi juga menatap ke arah lain langsung menengok saat Mitha mengeluarkan suara. Ia kira, gadis di sampingnya akan diam seribu bahasa sampai nanti ia memutuskan untuk pulang.

"Gue nggak baik aja buat lo."

Mitha tersedak. Untuk kedua kalinya. Lalu dua detik kemudian ia tertawa.

"Woy! Ya iyalah! Lo jayus gitu orangnya. Tipe cowok gue juga berbanding terbalik banget sama lo."

"Dih? Nggak salah lo? Ah, itu mah selera lo yang jelek. Udah jelas-jelas gue ganteng gini." Ujar Angga. Laki-laki itu membenarkan posisi duduknya, mencari posisi yang nyaman. Karena sepertinya obrolan mereka tidak akan terlalu berat. Sejujurnya, bagi mereka, obrolan yang berat terlalu berisiko membuat mereka sama-sama bersikap canggung. Jadi, sangat jarang bagi mereka untuk membicarakan hal-hal yang serius.

"Ga, kaca di rumah lo pecah semua ye?" Tanya Mitha. "Kalo emang udah pecah semua, nggak apa-apa. Nanti gue sumbangin satu. Biar lo nggak lupa buat ngaca tiap hari."

"Ye, kampret." Angga menyentil dahi Mitha pelan namun berhasil membuat gadis itu meringis.

"Tapi serius dah, masa tipe cowok lo beda banget sama gue?" Tanya Angga. Kali ini, laki-laki itu mengubah posisi tubuhnya menghadap Mitha. Seolah-olah ia memang benar-benar serius akan pertanyaan barusan. Mitha menatap langit. Memasang muka berpikir.

"Ada sih tipe yang sama kayak lo."

"Apa?" Tanya Angga dengan cepat.

Mitha tersenyum jahil. "Bisa napas."

"Anjrit! Bodo amat, nyesel gue ngajak lo jalan hari ini!" Angga berdiri dengan memasang muka kesalnya. Sedangkan Mitha asik terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu.

"Tau ah, bete gue. Ayok berdiri, kotor nanti rok lo kelamaan duduk di tanah."

***

FlickerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang