Aku sedang berdiri di depan majelis ketika tiba-tiba kerudungku ditarik dari belakang.
"Astaghfirullah," ucapku spontan.
"Pulang kamu! Masak aja belum udah nglayap ke sini." Suara seorang pria. Agak serak, seperti sebagian tertahan di leher.
"Maaf, Mas. Biasanya kamu belum pulang jam segini," kataku lirih lalu mengalihkan pandangan ke ibu-ibu yang bersila menyimak pelajaran. Tampaknya mereka sama terkejutnya denganku.
"Mau aku pulang jam berapa pun yang namanya makanan harus selalu siap di meja. Dasar istri nggak becus. Pulang, ayo!" Mas Zaenal menarik kasar tanganku.
"Jangan gitu dong, Mas. Jadi suami kok kasar. Istrinya ngajar kok disuruh pulang. Keterlaluan banget," celetuk Bu Sinta yang duduk bersila di barisan depan.
"Heh, Buk. Kalian semua sering ngaji, kan? Tau dong kalau kewajiban seorang istri itu patuh pada suami. Nah, saya suruh Esya melayani saya. Eh, belum masak dia udah ke sini aja. Siapa yang keterlaluan coba?" Mas Zaenal berkata lantang. Bola matanya yang lebar tambah dilebarkan.
"Udah, Mas. Udah. Maaf, ya, Ibuk-ibuk. Saya pulang dulu. Assalamu'alaikum." Aku pamit.
Mas Zaenal segera menarikku ke luar mushola sebelum ibu-ibu selesai menjawab salam. Tentu saja aku didera malu luar biasa diperlakukan seperti itu oleh suami. Sikap kasar Mas Zaenal bisa kupahami karena memang sebelum berangkat mengajar, aku tidak masak dulu. Namun, itu juga ada alasannya. Mas Zaenal tidak memberiku uang belanja lagi.
Maksud hati, upah yang kudapat dari mengajar ilmu Shorof pagi ini akan kugunakan untuk belanja, setelah itu baru memasak. Meski pun upahnya tidak banyak, tapi alhamdulillah itu cukup untuk biaya makan kami sehari-hari. Aku memang sengaja tidak memasang tarif, sadar kalau ilmu yang kupunya belum seberapa. Seikhlas yang membayar saja. Ada yang dua ribu, ada juga yang seribu. Kalau sedang baik rezekinya, ada yang membayar dua puluh ribu. Jumlah ibu-ibu yang ikut kelas itu juga tidak banyak. Jika masuk semua ada lima belas. Namun, seringnya hanya sepuluh yang hadir.
"Kamu udah dapat kerja, Mas?" tanyaku sambil terus mengikuti langkahnya yang semakin cepat ketika melewati halaman mushola.
"Kerja! Kerja! Emang gampang jaman kayak gini nyari kerja?! Kenapa? Udah nggak sanggup kasih makan aku? Orang baru setahun aja udah rewel. Sebelum-sebelumnya, aku yang kasih makan kamu. Balas budinya, dong."
"Astagfirullah, Mas. Memang sudah kewajiban kamu memberiku nafkah. Kok diungkit?"
"Ceramaah terus kamu bisanya. Ceramahmu nggak bikin aku kenyang, sepet iya." Mas Zaenal meninggikan suara. Giginya mulai beradu.
"Lagipula berasnya abis, Mas. Aku ngajar dulu abis itu uangnya bisa kubelikan beras, hiks." Aku mulai meneteskan air mata. Sedih dan bingung.
"Alasan saja kamu." Mas Zaenal mengayunkan sebelah tangannya.
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipiku.
Panas dan ngilu langsung menjalar di sana. Cubitannya di lenganku kemarin masih meninggalkan bekas hitam, kini sudah ditambah lagi dengan tamparan. Air mataku semakin deras mengucur.
"Assalamu'alaikum."
Mendengar salam itu aku menoleh. Ternyata Iskandar. Ia berjalan dari rumah Bu Nyai menuju ke arah kami.
"Waalaikum ... salam," jawabku terbata.
Mas Zaenal nanar menatap pria itu. Mungkin ia penasaran karena belum pernah melihat Iskandar sebelumnya. Ia adalah keponakan Bu Nyai yang tinggal di Surabaya. Iskandar baru tiba di kampung ini minggu lalu. Kata Bu Nyai ia sedang mencari ketenangan batin karena sang istri baru tiada.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENYUSUI SURGAKU
ChickLitMenceritakan ketangguhan dan kesabaran seorang perempuan