Sepulang dari puskesmas, para tetangga yang menjenguk Iskandar bak koloni semut. Hilir mudik, silih sambut. Bu Nyai adalah orang yang cukup disegani di kampung ini, warga pasti merasa pakewuh kalau tidak datang.
Aku dan Mbok Katri sibuk menyiapkan minum dan camilan untuk tamu-tamu itu. Saat kehabisan gula, aku yang membeli ke toko Yu Saroh. Mbok Katri sering sakit lutut, kasihan kalau harus berjalan jauh, sedangkan Husen tak mau lepas, ia membututi ke mana saja aku pergi.
"Mbak Esya, kok sama cucunya Bu Nyai?" tanya Yu Saroh saat aku tiba di tokonya.
"Iya, Yu. Ngikut terus makanya saya ajak."
"Tadi waktu kamu masih dikejauhan aku kaget, lo. Siapa itu yang digendong Mbak Esya, kok mirip. Mbak Esya kan belum punya anak, gitu pikirku."
"Ah, Yu Saroh bisa saja."
"Gimana kabarnya Iskandar, Mbak?"
"Alhamdulillah. Cuma lebam ndak sampai gimana-gimana."
"Aku jadi ingat dulu waktu dia masih SD. Mau nerbangin layangan di sawah depan mushola itu, lari-lari terus jatuh. Di bawahnya itu pas ada cangkang keong. Mancep di betisnya sampai berdarah-darah. Dia nangisnya terdengar sampai njeddah."
"Jadi, Mas Iskandar dulu pernah tinggal di sini ya, Yu?"
"Iya. Ikut Bu Nyai dari umur lima tahun. Terus pindah ke kota setelah lulus Tsanawiyah. Mungkin dulu niatnya Bu Nyai merawat Iskandar buat jadi anak pancingan. Maklum, Bu Nyai kan tidak dikaruniai anak. Tapi, yang namanya takdir siapa yang tahu ya, Mbak. Setelah merawat Iskandar masih juga tidak hamil.
"Toh, Iskandar sudah seperti anak sendiri. Sering menjenguk buleknya, malah ini kembali lagi tinggal di sini. Semoga dia dapet jodoh orang sini aja biar Bu Nyai ada temannya," lanjut Yu Saroh.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Yu Saroh. Setelah membeli gula seberat dua kilo dan kacang goreng satu kilo, aku langsung pulang ke rumah Bu Nyai. Sepanjang jalan, pikiranku melanglang buana. Adakah gadis yang kira-kira cocok untuk Iskandar di kampung ini? Soal rupa, tentu banyak yang bisa dipertimbangkan. Toh, kecantikan boleh dijadikan kriteria dalam memilih calon istri.
Fitri, anak sulungnya Bu Ratih yang sekarang kuliah sambil mondok itu cantik sekali. Mereka keluarga terhormat. Juragan batu bata yang punya puluhan kuli. Ah, tapi Fitri manja. Bagaimana bisa jadi ibu buat Husen? Si Tiwi adiknya Bu Sinta juga cantik. Namun, dia baru lulus SMA. Apa siap jadi ibu sambung Husen? Kenapa aku memikirkan pasangan yang cocok untuk Iskandar? Ah, ada-ada saja.
Tiba di halaman mushola, kulihat sedan merah parkir di halaman. Seorang wanita berkacamata hitam turun dari mobil itu. Pashmina ungu yang dikenakannya jatuh dengan anggun di pundak, menampakkan rambut ikal bergelombang yang mengayun di ujungnya. Wanita itu menenteng tas yang payetnya menyilaukan mata. Gamis berbahan velvet yang dikenakan wanita itu berkibar-kibar tertiup angin. Dia benar-benar gambaran orang kota yang glamor.
Dia melangkah anggun ke rumah Bu Nyai. Aku masih berdiri di depan mushola. Posisi yang berada di belakang mobilnya, membuatku luput dari pandangan wanita itu. Sebelumnya, dia tidak pernah terlihat mengunjungi rumah Bu Nyai.
"Husen kenal ndak sama tante itu?" tanyaku sambil menunjuk wanita tadi.
"Itu Tante Jasima. Biasanya main ke lumah Hucin di kota," jawab bocah itu sambil memainkan ujung kerudungku.
"Oh, temannya Abi?"
Husen menatapku. Lalu, "Pelut Hucin klucuk-klucuk, Tante."
Astaghfirullah. Saking repotnya urus tamu, aku sampai lupa belum menyuapi bocah ini sejak pagi. Cepat-cepat aku masuk lewat pintu belakang. Setelah menyerahkan belanjaan pada Mbok Katri, aku segera mengocok telur dan mendadarnya di teflon. Husen menyukai telur dadar dengan campuran daun bawang. Bocah itu menyebutnya tabak, maksudnya martabak.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENYUSUI SURGAKU
ChickLitMenceritakan ketangguhan dan kesabaran seorang perempuan