Iskandar mengemudikan mobil pelan-pelan. Sesuai sekali dengan pembawaannya yang kalem.
"Memangnya Husen baru dari mana?" tanyaku pada bocah yang kini duduk di pangkuanku. Rasanya sungkan kalau harus bertanya langsung pada Iskandar.
"Dali lumah teman Abi, Tante. Di cana nggak ada temannya. Hucin bocen," jawab Husen.
"Habis urus surat-surat tanahnya Bulek yang mau diwakafkan, Sya. Rencananya, aku ingin mendirikan madrasah di situ," terang Iskandar.
"Subhanallah. Mulia sekali niatmu, Mas. Semoga diridhai oleh Allah," kataku yang langsung diamini oleh Iskandar.
Di dekat perempatan jalan, ada penjual es tebu yang tengah memasukkan tebu ke mesin penggilingan untuk diambil sarinya. Husen antusias menunjuk ke penjual itu.
"Abi, Abi, atu mau itu," ucapnya cadel.
Mendengar permintaan putra semata wayangnya, Iskandar menepikan mobil tak jauh dari penjual es itu. Kemudian, ia mengajak Husen untuk turun, tapi bocah itu minta digendong olehku. Bagaimana bisa aku menolak bocah polos yang yatim ini? Akhirnya, dengan canggung kugendong Husen. Kami pun turun dari mobil. Ada perasaan jengah yang menyelusup ke hatiku. Kami tampak seperti satu keluarga saja.
Iskandar bertanya apa aku ingin es itu juga. Meski kehausan setelah mengayuh sepeda sekian kilo dan menuntunnya, aku menolak tawaran Iskandar.
"Kalo Tante gak minum es, Hucin juga gak mau. Macak Hucin minum cendili, kata Abi itu gak boleh," celoteh Husen.
"Ya, sudah. Buk, esnya tiga, ya. Dibungkus," kata Iskandar pada penjual itu.
Saat menunggu pesanan kami dibungkuskan, Husen yang ada di gendonganku minta digendong ayahnya. Aduh, aku malu kalau harus menyerahkan Husen ke pelukan Iskandar. Itu akan membuat kami sangat dekat bahkan mungkin bersentuhan. Bagaimana harus kubuat alasan sekarang?
"Ayo, Tante. Atu mau cama Abii," rengek bocah tampan itu.
"Sebentar lagi esnya selesai, kok. Kita kembali ke mobil, ya, nunggu Abi di dalam?" bujukku.
"Husen turun dulu dari gendongan Tante, terus sama Abi sini." Tiba-tiba Iskandar menyahut. Tampaknya ia mengerti kecanggunganku sehingga memberi solusi demikian.
Husen kuturunkan dari gendongan. Ia langsung berjalan mendekati ayahnya yang berjarak sekitar dua langkah dari tempatku berdiri. Dari pada berdiri tidak jelas, aku putuskan kembali ke mobil saja.
Angin yang tadinya sepoi-sepoi, tiba-tiba menerjang kasar hingga jilbab panjang berwarna kuning yang kukenakan berkibar. Tak dinyana, ujungnya yang berenda tersangkut di kancing kemeja Iskandar. Tepinya terselip di kancing itu sehingga akan rusak kalau ditarik sembarangan.
Aku terkejut, lelaki itu menatapku sekilas, tampak sama terkejutnya. Tanpa banyak bicara, ia menarik renda itu dengan hati-hati dari kancingnya.
"Terjadi sesuatu," ucapnya lirih.
Aku membeku di tempat. Menahan malu sampai ubun-ubun dan tidak tahu harus bilang apa atau berbuat apa.
"Maksudku ... rendanya sobek sedikit di ujung," tambah Iskandar.
Aku mengucapkan beribu maaf atas peristiwa itu. Dia tersenyum dan bilang, "Tidak apa-apa. Itu tidak disengaja, kebetulan ada angin."
Aku berbalik hendak kembali ke dalam mobil. Namun, tiba-tiba ada yang mengusik pikiran. Aku menoleh pada Iskandar.
"Mas, bolehkah kita mengatakan kebetulan, sementara tidak ada satu daun pun yang jatuh kecuali telah diketahui oleh Allah?"
Iskandar menjawab, "Kalau yang dimaksud kebetulan itu tidak dengan takdir Allah, tentu itu salah. Tidak mungkin Allah tidak mengetahui sebelumnya tentang apa-apa yang akan terjadi. Yang kumaksud kebetulan itu kan dari sudut pandang kita, sebagai manusia, bukan dilihat dari perbuatan Allah. Kalau kukatakan kerudungmu tersangkut di kancingku merupakan kebetulan, itu tak masalah, karena itu di luar rencana kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
MENYUSUI SURGAKU
ChickLitMenceritakan ketangguhan dan kesabaran seorang perempuan