Pulang dari rumah Bu Nyai, terlihat mobil putih parkir di halaman rumahku. Siapa malam-malam begini bertamu? Apa Bapak dan keluarga di Yogya menjengukku? Ah, tidak mungkin. Pasti mereka menghubungi Mas Zaenal dulu kalau mau datang. Atau jangan-jangan itu mantan bosnya Mas Zaenal, mau menawarkan pekerjaan lagi begitu? Kalau benar, alhamdulillah.
Sambil mengangkat rok yang kukenakan, langkah ini kupercepat, ingin tahu siapa gerangan pemilik mobil itu. Saat hampir sampai di depan pintu, Mas Zaenal keluar dari ruang tamu. Mungkin dia melihatku dari kaca jendela sehingga langsung menyambut.
"Itu tamuku, cepat bikinkan minum," bisiknya sambil memegang lengan ini. Seperti menahan agar aku tidak masuk ke dalam.
"Tamu siapa, Mas? Apa aku kenal?"
"Endak. Mereka pasien pertamaku. Mau nanyain soal anaknya yang sakit. Udah jangan banyak tanya, ke dapur lewat belakang sana."
"Astaghfirullah, Mas. Kok makin menjadi-jadi kamu itu. Ndak mau aku bikinkan minum. Bikin sendiri sana."
"Berani melawan kamu, ya," geramnya sambil mengepalkan tangan.
Aku yakin jika tidak ada tamu di dalam, Mas Zaenal akan memukulku lagi.
"Kalau aku dapat duit banyak. Kamu jangan minta!"
"Ndak akan pernah," ketusku sambil berlalu.
Aku masuk rumah melalui pintu dapur biar tidak berhadapan dengan para pemuja kesyirikan itu. Tak kuhiraukan bau kemenyan yang menguar memenuhi ruangan.
Setelah shalat Isya' aku berbaring di ranjang. Terdengar perbincangan mereka di ruang tamu. Kadang kala tertawa, kadang bisik-bisik. Dari suaranya, sepertinya tamu Mas Zaenal ada tiga orang, empat dengan Kang Ujud.
Aku menahan diri agar tidak sampai khilaf dan mengusir mereka. Itu tidak sopan dan tidak akan diterima tabiat seperti itu di kampung ini. Susah payah kupejamkan mata agar segera tertidur.
Tiba-tiba, bayangan Iskandar yang kancing bajunya dibuka Jazima tadi siang melintas di pelupuk mataku. Astaghfirullah. Bagaimana bisa aku membayangkan laki-laki lain? Itu tidak boleh. Dosa besar.
Fitnah dunia memang luar biasa. Padahal sudah kutundukkan pandangan. Tadi hanya tak sengaja melihat. Begitu saja kok sudah terbayang-bayang.
Semakin malam, hatiku semakin gelisah. Aku tidak bisa menerima suami yang tidak seiman lagi. Namun, ini urusan hati. Tidak bisa seenaknya aku minta pisah. Terlalu berat keputusan itu untuk dibuat. Dan sekarang, entah mengapa aku jadi merasa malu kalau harus minta solusi soal ini ke Iskandar.
***
Kokok ayam jago membangunkanku di pagi buta. Ketika tak menemukan Mas Zaenal di ranjang, aku langsung bangkit. Kubuka pintu kamar. Barangkali Mas Zaenal tertidur di depan teve. Namun, nihil. Kulangkahkan kaki menuju ruang tamu, mungkin dia menggelar tikar di sana. Ternyata tidak ada juga. Putung dan bungkus rokok berserakan di lantai. Juga genteng dengan sisa arang, bekas membakar kemenyan semalam.
Ke mana Mas Zaenal? Apakah semalam saat aku tidur dia keluar dengan tamu-tamunya atau menginap lagi di rumah Kang Ujud?
Hatiku semakin tidak tenang. Yang dilakukan Mas Zaenal ini adalah kekufuran yang besar. Aku harus segera mengingatkannya. Namun, kalau sekarang kususul ke rumah Kang Ujud malah bikin runyam suasana.
Ah, aku harus sabar sampai nanti malam. Tidak boleh grusa-grusu atau malah salah bicara dan membuat Mas Zaenal murka. Yang ada nanti dia malah makin jauh dariku.
***
Sepanjang hari aku tidak fokus bekerja. Tadi ibu-ibu di mushola hanya kuberi soal-soal sederhana. Sekarang, ketika menyuapi Husen pun, pikiran ini melanglang buana. Aku bingung menyusun kata-kata untuk menyadarkan Mas Zaenal.
Tahu-tahu Husen yang dari tadi berada di sampingku, sudah berdiri di teras. Bocah itu hendak memetik bunga gantung yang ada di beranda. Kakinya mulai berjinjit-jinjit. Kalau tidak cepat dipegangi, bocah itu bisa jatuh.
"Husen!" pekikku.
Aku bangkit dan berlari hendak mendekap tubuh mungilnya. Iskandar yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu juga berlari ke arah Husen. Ketika aku hendak menangkapnya, bocah itu loncat ke kursi. Di saat yang sama Iskandar juga menangkupkan tangan kiri, alhasil ia memeluk tubuhku dari belakang.
"Hahaha ... Tante cama Abi gak bisa tangkap Hucin. Hahaha." Tawa polos Husen membuat kami salah tingkah.
Iskandar melepas pelukannya. Sempat terlihat, jemarinya yang panjang-panjang gemetar. Aku pun nyaris menggigil karena malu. Tangannya yang baru saja melingkari dadaku, meninggalkan rasa seronok yang tak layak diakui.
Iskandar telah mengusik keperempuananku!
"Maaf. Itu tadi ... refleks," lirihnya.
Ada kecanggungan yang kentara pada suara itu. Aku mengangguk pelan dengan bibir bergetar. Iskandar menundukkan wajah, lalu masuk ke rumah. Meninggalkanku dan Husen berdua saja. Namun, aku merasa ditinggalkan seorang diri.
Seusai menyuapi Husen, aku menemui Bu Nyai. Rasa-rasanya terlalu berat kalau harus menunggu malam untuk bertemu Mas Zaenal. Bu Nyai sedang duduk di ruang tengah bersama Iskandar. Lagi-lagi tatapan pria itu menyambutku. Iskandar segera mengalihkan pandangan pada Husen. Bocah itu berlari ke arahnya.
"Bu Nyai, bolehkah saya minta izin pulang cepat hari ini? Saya sedang tidak enak badan."
"Kamu sudah minum obat, Nak?" tanya perempuan berwajah sabar itu.
"Rencananya sepulang dari sini, Buk."
Terpaksa aku berbohong karena tidak ingin ditanyai macam-macam tentang urusan pribadi. Seburuk apa pun, Mas Zaenal adalah suamiku.
"Bulek, saya ke dalam dulu." Iskandar tiba-tiba bangkit. Lalu melangkah menuju dapur, sedang Husen berpindah ke pangkuan Bu Nyai.
"Ya sudah, Nak Esya pulang saja sekarang. Minum obat dan istirahat. Semoga cepat sembuh," ucap Bu Nyai.
Wanita itu sesekali menengok ke pintu dapur. Seolah menanti kembalinya Iskandar.
"Iya. Terima kasih, Buk. Assalamu'alaikum."
"Waalaikum salam."
Aku meninggalkan ruangan itu dengan langkah tergesa. Tiba di beranda, Iskandar sudah berdiri di sana.
"Sya, apa ini karena kejadian barusan? Aku benar-benar minta maaf. Tidak ada faktor kesengajaan sama sekali," ucapnya lirih. Nyaris berbisik.
"Tidak, Mas. Demi Allah. Saya memang sedang ada urusan sangat penting. Saya percaya Mas tidak mungkin sengaja melakukannya. Kita sama-sama panik melihat Husen akan jatuh. Hal seperti itu wajar terjadi."
"Syukurlah."
"Mari, Mas. Assalamu'alaikum."
Aku menunggu Iskandar menjawab salam, lalu meninggalkannya. Mengapa langkah ini begitu berat meninggalkan rumah Bu Nyai? Tempat itu memberi rasa nyaman yang tidak kurasakan di rumah Mas Zaenal.
Belum seratus meter aku meninggalkan rumah Bu Nyai, terlihat Mas Zaenal naik motor membonceng Rukmana. Hatiku seperti dilempar bara api. Apalagi perempuan bahenol itu memeluk Mas Zaenal dengan mesra.
Berteriak memanggil mereka tidak mungkin kulakukan. Itu memalukan. Astaghfirullah. Bagaimana bisa suamiku menjadi begitu?
Persendian kaki terasa lunglai. Kusandarkan punggung di tiang listrik, mengumpulkan kembali tenaga. Dengan ujung jilbab, berulang-ulang kali kuusap air mata yang meleleh tak terbendung. Aku seperti berjalan di tepian neraka yang semakin lama, apinya semakin besar, bak lidah-lidah yang ingin memangsa.
Bersambung ....
Biar nggak ketinggalan part-partnya sila follow akun FB saya.
Baca juga karya yang lain
Wattpad @MienHessel
Dreame Mien Hessel
KBM App Mien_Hessel
NovelMe Mien Hessel II
KAMU SEDANG MEMBACA
MENYUSUI SURGAKU
ChickLitMenceritakan ketangguhan dan kesabaran seorang perempuan