Pagi ini, aku sudah rapi dengan gamis batik bermotif ceplok bunga. Ijazah dan KTP sudah kusiapkan sejak semalam. Rencananya sepulang mengajar, aku akan langsung ke kota. Barangkali di toko atau rumah makan ada lowongan kerja.
Di rumah ini, ada sepeda unto milik mendiang ibu Mas Zaenal. Sejak aku tinggal di sini, sepeda itu kurawat dan kupakai ke mana-mana. Lumayan, dari pada jalan kaki. Kami cuma punya satu motor sport, kendaraan Mas Zaenal sendiri. Aku tak bisa memakainya. Aku pernah menyarankan untuk ditukar motor matic saja agar bisa kukendarai juga. Namun, dia menolak. Tidak macho, katanya.
Suamiku memang sangat memperhatikan penampilan. Di usia ke tiga puluh tiga tahun, dia masih suka berdandan ala ABG, berkaos tipis dipadu dengan celana pensil. Jam tangan pun suka ganti-ganti. Seperti lupa kalau ia sudah punya istri.
Kali ini aku yakin Mas Zaenal tidak akan menyusulku ke mushola karena makanan sudah siap. Sembako pemberian Bu Nyai kemarin, yang berisi beras, telur, mie instan, gula, minyak goreng, dan sabun cuci piring sangat membantu. Setidaknya sampai seminggu ke depan, aku tidak perlu pusing soal kebutuhan dapur. Kalau bosan telur, nanti bisa beli tempe di toko Yu Saroh.
Setelah mengucap basmalah, kukayuh sepeda pelan-pelan menuju mushola.
***
"Jadi, pembahasan kita tentang ciri-ciri fi'il dan isim sudah selesai, ya, Ibuk-ibuk. Apa ada yang ingin ditanyakan? Monggo, saya kasih waktu sepuluh menit," kataku menutup kelas hari ini.
Bu Ratih mengacungkan jari. Kupersilakan wanita berjilbab ungu itu untuk bertanya.
"Dalam Bahasa Arab semua kata terbagi menjadi tiga jenis, yaitu fi'il, isim, dan huruf. Kita kan sudah belajar tentang ciri-ciri fi'il dan isim. Nah, ciri-ciri hurufnya belum, Mbak."
"Jadi, huruf ini tidak berciri-ciri, Ibuk-ibuk. Justru, huruf merupakan ciri dari fi'il maupun isim. Contohnya, min yang artinya dari, ila artinya ke. Huruf hijaiyah yang tersusun dari satu, dua, atau tiga huruf yang memiliki arti, nah, itu yang dimaksud huruf, ya. Sederhananya, yang bukan fi'il dan isim sudah pasti huruf. Sudah paham?"
"Sudah, Mbak," jawab mereka hampir bersamaan.
"Oh, iya. Ibuk-ibuk, kalau misalnya kelasnya dipindah ba'da maghrib saja bagaimana?" tanyaku.
"Loh, kenapa, Mbak?" tanya Bu Sinta sembari memasukkan pulpen dan buku ke dalam tasnya.
"Begini, saya mau cari kerja. Jadi, pagi sampai sore saya kerja dulu," jelasku.
"Oh gitu, Mbak. Agak repot, sih, Mbak, kalau malam. Soalnya kami menemani anak-anak belajar," kata Bu Ratih.
"Memangnya Mbak Esya sudah dapat kerjaan?" tanya Bu Sinta.
"Belum, sih, Buk. Ini masih mau mencari," jawabku.
"Kalau gitu Mbak Esya coba tanya ke Bu Iis aja. Kemarin saya denger dia cari orang buat jagain tokonya yang di tengah pasar itu. Buka jam sembilan pagi sampai jam lima sore. Jadi, pagi hari Mbak Esya masih bisa mengajari kami," usul Bu Sinta.
"Ih, Bu Iis kan rentenir, Buk. Tokonya kan kedok aja. Orang banyak yang ke sana bukannya beli baju, tapi bayar bunga pinjaman. Yang ada dia nyari karyawan buat mencatat orang bayar bunga, bukan melayani orang beli baju. Masa' Mbak Esya kerja di tempat rentenir," sergah Bu Ratih.
"Betul itu," kata ibu yang lain.
"Ya, sudah. Terima kasih usulnya, saya cari kerja di kota dulu. Barangkali ada yang membutuhkan. Mari, saya duluan. Assalamu'alaikum," kataku seraya bangkit. Lalu, berjalan ke luar mushola.
***
Sudah satu jam aku keliling di pertokoan dekat alun-alun, tapi tidak ada satu pun yang memajang tulisan lowongan kerja. Sepeda terus kukayuh. Aku berencana sebelum azan zuhur berkumandang, harus sampai di rumah.
Kerongkongan ini terasa sangat kering, tapi lebih baik kutahan saja. Upah mengajar hari ini tidak begitu banyak, kalau kupakai beli air mineral, jumlahnya tidak akan cukup untuk jatah rokok Mas Zaenal. Sebungkus rokoknya seharga dua puluh empat ribu, sedang hari ini aku cuma dapat dua puluh lima ribu.
Di pintu masuk sebuah kafe ditempel iklan lowongan kerja. Segera kuhentikan sepeda, memarkirnya di bawah pohon angsana, lalu masuk ke kafe tersebut.
Pada seorang wanita berkaos merah dengan logo kafe di dadanya, aku bertanya tentang lowongan kerja tersebut. Ia membenarkan dan mengatakan minimal harus lulusan SMA atau sederajat.
"Saya lulusan Aliyah, Mbak. Besok saya bawa lamaran lengkapnya ke sini, insya Allah," kataku dengan sumringah.
"Bisa, Mbak. Tapi, aku kasih bocoran, ya, Mbak. Kalau kerja di sini itu nggak boleh pakai kerudung. Harus pakai rok mini kayak saya ini, bukan kayak orang pengajian gitu. Kalau Mbak nggak pakai kerudung, peluang diterima akan lebih besar, Mbak," terang perempuan berdandanan menor itu.
"Saya pikir-pikir lagi kalau gitu, Mbak. Assalamu'alaikum."
Aku belum beranjak, menunggu orang tersebut menjawab salam. Ternyata tidak kunjung dijawab. Aku beristighfar di dalam hati, kemudian meninggalkan tempat itu. Sampai aku ke luar kafe, tak terdengar wanita itu membalas salamku.
Kuputuskan shalat zuhur di masjid dekat alun-alun saja dan pulang nanti sore. Mas Zaenal pasti tidak akan marah aku pulang telat kali ini. Dia pasti akan senang begitu tahu aku cari kerja dulu ke kota.
Seusai sholat di masjid megah itu, aku kembali berkeliling kota dengan sepeda. Pandanganku menyisir deretan toko-toko di pinggir jalan, barangkali ada yang butuh karyawan. Namun, nihil.
Ketika matahari mulai condong ke barat, aku pulang. Aku yakin ini sudah masuk waktu ashar karena bayanganku yang jatuh di jalan beraspal sudah lebih panjang dari tubuhku sendiri. Apalagi perut ini sudah berbunyi sejak tadi.
***
"Mas, kok telurnya habis?" tanyaku pada Mas Zaenal begitu aku membuka tudung saji di meja makan. Ketika mandi tadi sudah terbayang sepiring nasi, telur, dan sambal untuk mengisi perut. Namun, kini yang kulihat cuma cobek bekas sambal dan nasi yang tinggal sedikit di rice cooker.
Mas Zaenal mendekatiku. "Tadi Kang Ujud ke sini pas aku makan, jadi sekalian aja aku suruh makan. Eh, dia nambah sampai dua kali, katanya masakanmu enak. Maaf, ya, abis. Kamu kalau lapar masak lagi aja sana."
Aku tak menjawab. Langsung saja kuciduk satu centong nasi ke cobek. Aku cukup makan pakai sisa sambal. Mas Zaenal tampak biasa-biasa saja melihatku makan seadanya.
"Kamu ke mana, tumben baru pulang?" tanyanya.
"Ke kota cari kerja," jawabku.
"Dapet?"
"Belum."
"Kerja di tempat temanku aja gimana?"
"Kerja apa?"
"Di toko grosir. Buka jam enam pagi, tutup jam sebelas malam."
"Ndak, ah. Aku ndak mau pulang malem. Ndak baik perempuan pulang malem."
"Alah. Sok suci. Pokoknya kalau lusa kamu belum dapat kerja, kamu harus kerja di tempat temanku itu. Biar agak enakan dikitlah makanku. Masa' tiap hari telur, tempe, telur, tempe," kata Mas Zaenal seraya berjalan ke ruang tengah.
Aku terlalu lelah untuk menolak ancamannya. Aku bertekad, besok aku harus dapat kerja apa pun itu.
Bersambung ....
Sila follow akun saya ya biar nggak ketinggalkan part-partnya. :* :*
KAMU SEDANG MEMBACA
MENYUSUI SURGAKU
ChickLitMenceritakan ketangguhan dan kesabaran seorang perempuan