Sehabis azan subuh berkumandang, terdengar suara pintu diketuk. Aku segera melepas mukena, hendak membuka pintu. Namun, langkah ini terhenti. Aku ragu, jangan-jangan itu bukan Mas Zaenal, soalnya dia tidak pernah bangun sepagi ini.
Aku mengintip dulu dari jendela kaca. Ruang tamu yang gelap karena lampunya tidak kunyalakan menambah jernih memandang keluar. Ternyata memang Mas Zaenal yang berdiri di depan pintu. Aku segera membukanya. Mas Zaenal tampak masih mengantuk.
Saat hendak mencium tangannya, aku terkejut bukan main melihat keris yang dibawa Mas Zaenal. Tidak panjang, hanya setara pisau di dapurku. Gagangnya berukir bunga.
"Astaghfirullah, Mas. Ngapain kamu bawa begituan?"
"Hust." Mas Zaenal masuk ke rumah. Dengan santainya melewatiku.
"Jangan keras-keras. Nanti didengar orang. Banyak yang mengincar keris ini. Dulu, kepala desa di sini mengambil keris ini dari Gunung Cungkring. Penunggunya sampai murka, banyak warga di dekat sana yang mati. Lalu, setelah kepala desa itu mati, kerisnya dibawa Kang Ujud. Sekarang diberikan padaku. Ini banyak fungsinya untukku. Jadi, kamu diam saja," terang suamiku.
"Ya Alloh, itu dosa besar, Mas. Jangan gila kamu, Mas."
Plak!
Lagi, satu tamparan keras mendarat di pipiku.
"Aku bilang diam, ya, diam!" bentaknya.
"Kamu itu memang susah banget disayangi tahu ndak? Bagimu, salah terus semua yang kulakukan. Istri itu harus nurut sama suami. Ini aku lagi cari cara biar bisa nyari duit lagi," lanjutnya.
"Kamu mau jadi dukun, Mas? Ya Alloh."
"Yang penting dapet duit dan disegani orang-orang. Biar kayak Kang Ujud. Kan kamu juga nanti yang enak. Ndak perlu repot kerja lagi."
"Emoh aku, Mas. Itu haram."
"Alah, berisik. Aku mau tidur lagi."
Suamiku masuk ke kamar sambil tetap memegang keris. Ya Alloh, ada-ada saja tingkahnya. Kukira Mas Zaenal benar-benar sudah taubat karena beberapa hari terakhir bersikap manis. Ternyata dia bikin ulah lagi. Tak kusangka Mas Zaenal percaya pada benda-benda begitu. Sekarang apa yang harus kulakukan? Membuang benda itu secara diam-diam juga tidak mungkin. Nanti Mas Zaenal bisa ngamuk.
Mungkin, Iskandar punya saran untuk menyelesaikan persoalan ini. Tidak ada salahnya aku bertanya. Bukankah orang yang suka bermusyawarah tidak akan pernah menyesal?
***
Ketika tiba di rumah Bu Nyai, kulihat Iskandar duduk di dekat ayunan Husen. Pandangannya terpancang ke seberang jalan. Di mana beberapa perempuan paruh baya sedang membersihkan rumput-rumput di sawah.
Aku mengucap salam. Iskandar tampak terkejut dengan kehadiranku. Itu terlihat dari sorot matanya.
"Apakah keadaan Mas Iskandar sudah lebih baik?"
"Alhamdulillah. Badanku sehat-sehat saja. Hanya tangan yang belum bebas digerakkan. Baru kulatih pelan-pelan." Iskandar mengulas senyum.
"Apa perlu saya buatkan teh hangat untuk njenengan?"
"Nanti saja. Aku sedang menyaksikan para ibuk yang mencabuti rumput itu. Aku perhatikan dari aku kecil sampai sekarang, yang masih rajin ke sawah adalah wajah-wajah yang sama. Ke mana anak-anak mereka?"
"Jaman sudah berubah, Mas. Para pemuda di kampung ini lebih suka merantau atau kerja di kota. Ada yang menjaga supermarket, ada yang jadi kuli bangunan, kalau para gadis kebanyakan menjahit. Hampir tidak ada anak muda yang pergi ke sawah memang. Itu sangat bisa dimaklumi. Kalau kerja di sawah kan lama menunggu hasilnya. Setelah berbulan-bulan baru bisa dijual, sedangkan kalau kerja kan bisa tiap minggu dapat uang."
KAMU SEDANG MEMBACA
MENYUSUI SURGAKU
ChickLitMenceritakan ketangguhan dan kesabaran seorang perempuan